REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Haura Hafizhah, Antara
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat menangkap Kabag Kepegawaian Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Dwi Achmad Noor dalam operasi tangkap tangan (OTT) di area Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada Rabu (20/5) . Deputi Penindakan KPK, Karyoto membenarkan OTT itu.
"Benar, pada hari Rabu tanggal 20 Mei 2020 sekitar jam 11.00 WIB, KPK bekerja sama dengan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbud telah melakukan kegiatan tangkap tangan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," kata Karyoto dalam keterangan pers, Kamis (21/5) malam.
Karyoto mengatakan, Dwi ditangkap lantaran diduga akan menyerahkan uang tunjangan hari raya (THR) kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemdikbud dan sejumlah staf SDM di Kemendikbud. OTT berawal dengan adanya bantuan dan informasi dari pihak Itjen Kemendikbud kepada KPK perihal dugaan akan adanya penyerahan sejumlah uang yang diduga dari pihak Rektor UNJ kepada pejabat di Kemendikbud.
Setelah mendapatkan informasi tersebut, KPK bersama dengan tim Itjen Kemendikbud menindaklanjutinya dan mengamankan Dwi Achmad Noor selaku Kabag Kepegawaian UNJ beserta barang bukti berupa uang sebesar 1.200 dolar AS dan Rp 27,5 juta. Kasus ini, lanjut Karyoto, bermula saat Rektor UNJ, Komarudin meminta sejumlah dekan fakultas dan lembaga penelitian di lingkungan UNJ mengumpulkan uang masing-masing Rp 5 juta melalui Dwi.
Uang itu rencananya diserahkan kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemendikbud dan sejumlah staf SDM di Kemendikbud sebagai uang THR. Kemudian, pada Selasa (19/5), terkumpul uang sebesar Rp55 juta dari delapan fakultas, dua lembaga penelitian dan pascasarjana.
Keesokan harinya, atau sehari sebelum ditangkap, Dwi sempat menyerahkan uang THR sebesar Rp 5 juta kepada Karo SDM Kemendikbud, Rp 2,5 juta kepada Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud, serta Parjono dan Tuti selaku staf SDM Kemendikbud masing-masing sebesar Rp 1 juta.
"Setelah itu Dwi Achmad Noor diamankan KPK dan Itjen Kemendikbud," kata Karyoto.
Setelah itu, penyidik KPK juga meminta keterangan kepada sejumlah pihak yakni Rektor UNJ, Komarudin; Dwi Achmad Noor; Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ Sofia Hartati; Analis Kepegawaian Biro SDM Kemdikbud, Tatik Supartiah; Karo SDM Kemdikbud Diah Ismayanti; serta dua staf Kemdikbud Dinar Suliya dan Parjono. Namun, setelah proses permintaan keterangan itu, KPK menyerahkan kasus tersebut ke Polri.
Adapun alasan diserahkannya kasus kepada Kepolisian lantaran setelah proses permintaan keterangan terhadap sejumlah pihak terkait tidak ditemukan unsur penyelenggara negara dalam kasus ini. Bahkan, setelah dilakukan permintaan keterangan, belum ditemukan unsur pelaku penyelenggara negara.
"Sehingga selanjutnya dengan mengingat kewenangan, tugas pokok dan fungsi KPK maka KPK melalui unit Koordinasi dan Supervisi Penindakan menyerahkan kasus tersebut kepada Kepolisian RI untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum," katanya
Kepala Divisi Humas Polri Barigadir Jenderal Polisi Argo Yuwono mengatakan kasus salah satu pejabat UNJ yang terjaring OTT oleh KPK sudah diserahkan ke Polda Metro Jaya (PMJ).
"Iya benar kasus tersebut dilimpahkan ke Polda Metro Jaya (PMJ). Silahkan ke PMJ untuk teknisnya," katanya saat dihubungi Republika, Jumat (22/5).
Tidak berkelas
Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyoroti OTT yang dilakukan KPK di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Rabu (20/5). MAKI menilai, OTT yang dilakukan KPK tidak berkelas.
"OTT ini sangat tidak berkelas dan sangat memalukan karena KPK saat ini OTT hanya level kampus, hanya uang THR dan lebih parah lagi kemudian penanganannya diserahkan kepada polisi dengan alasan tidak ada penyelenggara negaranya," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui keterangannya di Jakarta, Jumat (22/5).
Menurut dia, pelimpahan kepada Kepolisian karena tidak adanya unsur penyelenggara negara juga sangat janggal. Karena menurut Boyamin,, rektor merupakan jabatan tinggi di Kemendikbud.
"Mestinya KPK tetap lanjut tangani sendiri dan tidak serahkan kepada polisi. Rektor adalah penyelenggara negara karena ada kewajiban laporkan hartanya. Kalau KPK bilang tidak ada penyelenggara negara, bagaimana polisi memrosesnya, apa dengan pasal pungutan liar? Ini yang akan menyulitkan polisi menerima limpahan dari KPK," tuturnya.
Ia pun menilai kegiatan OTT di Kemendikbud tersebut terlihat jelas tidak adanya perencanaan dan pendalaman informasi oleh KPK.
"Setiap info biasanya oleh KPK dibahas dan didalami sangat detil mulai dari penerimaan pengaduan masyarakat sampai dengan keputusan untuk OTT (baik menyangkut siapa penyelenggara negara, apa modusnya sampai apakah suap atau gratifikasi) sehingga ketika sudah OTT maka tidak ada istilah tidak ditemukan penyelenggara negaranya," ucapnya menegaskan.
MAKI pun, kata dia, akan segera membuat pengaduan kepada Dewan Pengawas KPK atas amburadulnya OTT di Kemendikbud tersebut.
Plt Jubir KPK, Ali Fikri menilai pernyataan Boyamin menandakan tidak pahamnya Koordinator MAKI tersebut dalam konstruksi perkara pemberian THR ke pejabat Kemendikbud. Ali menegaskan, tangkap tangan terhadap Kabag Kepegawaian UNJ digelar atas permintaan bantuan Itjen Kemendikbud yang menduga adanya pemberian sejumlah uang THR kepada pejabat dan pegawai Kemendikbud yang diduga atas perintah rektor UNJ.
"Pernyataan Boyamin Saiman menunjukan yang bersangkutan tidak paham akan konstruksi kasus namun terlanjur sudah membangun opini yang keliru kepada masyarakat," kata Ali.
Dalam OTT terhadap Dwi Achmad Noor itu, KPK turut menyita barang bukti berupa uang sebesar 1.200 dolar AS dan Rp 27,5 juta. Namun, kata Ali, Dwi Achmad Noor bukan termasuk penyelenggara negara menurut UU.
"Yang tertangkap menurut UU bukan masuk kategori Penyelenggara Negara," katanya.
Ali mengklaim, KPK sering melimpahkan kasus kepada penegak hukum lain baik kepolisian maupun kejaksaan. Apalagi, setelah meminta keterangan sejumlah pihak, KPK tidak menemukan perbuatan pelaku penyelenggara negara dalam kasus THR pejabat Kemdikbud tersebut.
"Kita tahu bahwa aparat penegak hukum lain ketika menangani perkara korupsi tidak dibatasi adanya unsur melibatkan PN, berbeda dengan KPK yang ada batadan Pasal 11 UU KPK. Ini perlu kami sampaikan agar Boyamin Saiman juga paham soal ini," katanya.
Ali berjanji, KPK bakal kembali menangani kasus tersebut jika dalam perkembangan penanganan perkara ditemukan adanya unsur penyelenggara negara yang terlibat.
"Perlu kami sampaikan setelah penyerahan kasus, sangat dimungkinkan setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam," tegas Ali.