Selasa 07 Apr 2020 19:48 WIB

ICJR Kritik KUHP dan UU ITE untuk Jerat Penghina Presiden

ICJR menilai MK telah membatalkan pasal-pasal KUHP terkait penghinaan presiden.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Teguh Firmansyah
Palu Hakim (Ilustrasi)
Palu Hakim (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan KUHP dan UU ITE oleh polisi dalam melakukan penangkapan terhadap beberapa orang yang diduga menghina Presiden Joko Widodo dinilai tidak tepat.

Semua kasus itu justru terlihat sebagai masalah pembatasan kemerdekaan berpendapat dan berekspresi atas nama penghingaan presiden.

Baca Juga

"Polisi menggunakan KUHP dan UU ITE sebagai dasar, dengan secara terang-terangan mengatakan para pelaku melakukan pidana penghinaan terhadap Presiden, sebuah tindak pidana yang tidak dikenal dalam hukum Indonesia," jelas Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (7/4).

Erasmus menjelaskan, MK melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah membatalkan pasal-pasal dalam KUHP yang dapat menyasar kasus-kasus penghinaan Presiden, seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 ayat (1) KUHP. MK menegaskan, perbuatan kriminalisasi terhadap penghinaan presiden tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam masyarakat demokratis.

MK juga menekankan, tidak boleh lagi ada pengaturan sejenis dengan delik penghinaan presiden yang sudah diputus MK karena bertentangan dengan konstitusi dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Dengan begitu, kata dia, ketentuan pidana apapun mengenai penghinaan terhadap penguasa yang dilihat secara kelembagaan tidak dapat digunakan untuk melindungi kedudukan presiden sebagai pejabat dan pemerintah.

Ia juga mengatakan, selain berdasar putusan MK tersebut, aparat juga kerap menggunakan pasal-pasal lain secara eksesif untuk menjerat orang-orang yang mengeluarkan ekspresinya secara sah karena dianggap menghina penguasa. Padahal, pasal tersebut tidak tepat untuk diterapkan.

"Di antaranya Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, Pasal 156 KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian, dan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum," terang dia.

Menurut Erasmus, Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus di tersebut. Itu karena ujaran kebencian sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut hanya dapat ditujukan untuk ungkapan-ungkapan yang berisi provokasi atau hasutan untuk kebencian terhadap suku, agama, ras, antar golongan (SARA).

"Pasal 28 ayat (2) UU ITE sama sekali tidak dapat digunakan untuk penghinaan individu apalagi penguasa. Tindakan polisi menggunakan Pasal  28 ayat (2) UU ITE mencerminkan kesewenang-wenangan," jelas dia.

Terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE, hal yang perlu diingat ialah berdasarkan UU 19/2016, revisi UU ITE, pasal tersebut merupakan delik aduan. Berdasarkan Pasal 207 KUHP serta pertimbangan putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 juga merupakan delik aduan absolut yang mensyaratkan harus terdapat pengaduan terlebih dahulu dari korban penghinaan yang dituduhkan.

Karena itu, ia menilai, baik 207 KUHP maupun atau pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat digunakan untuk melindungi Presiden Joko Widodo dalam kedudukannya sebagai Pejabat Presiden republik Indonesia.

"Namun lebih dari itu, ICJR menilai semua kasus tersebut mengarah pada masalah pembatasan kemerdekaan berpendapat dan berekspresi atas nama penghinaan Presiden," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement