REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan rencana pemulangan anak-anak WNI eks ISIS membutuhkan asesmen atau kajian mendalam. Hal itu untuk mengetahui sejauh mana mereka dilibatkan atau ditanamkan paham-paham radikal.
"Kalaupun memang terjadi pemulangan, maka harus ada asesmen atau harus dipilah sejauh mana anak-anak ditanamkan atau tidak paham radikal," katanya di Jakarta, Senin (17/2)
Arist melanjutkan, pemerintah sudah seharusnya melakukan asesmen mendalam termasuk pendataan lengkap terhadap anak-anak eks ISIS terlebih dahulu. Sebab, hal itu juga harus berlaku secara internasional.
Langkah tersebut diperlukan sehingga informasi yang didapatkan tidak hanya dari sekadar menduga-duga sejauh mana anak-anak eks ISIS dilibatkan saat pergi ke konflik bersenjata. "Jangan nanti kita menganggap para anak ditanamkan paham radikal, ternyata kenyataannya tidak. Sebab anak-anak itu kan korban," ujarnya.
Pada prinsipnya, tambah dia anak-anak tersebut tidak memiliki pemahaman-pemahaman seperti itu. Melainkan, biasanya ditanamkan oleh para orang tua dan hal ini membuktikan mereka sebagai korban.
Karena itu, dalam perspektif perlindungan anak, anak-anak eks ISIS menjadi korban orang tua mereka sehingga harus dilindungi oleh negara. Sebab, jika dilihat dalam perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa negara harus menjamin dan memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum, termasuk yang berada dalam situasi keterlibatan terorisme.
Kemudian, dalam konteks konvensi hak anak dimana Indonesia meratifikasi konvensi tersebut bahwa setiap negara terikat secara politis dan yuridis sehingga harus melaksanakan konvensi. Di dalam konvensi itu melarang anak dilibatkan dalam konflik bersenjata, menjadi tentara anak, melindungi anak dari eksploitasi termasuk ajaran terkait perang kepada orang lain.
"Itu dijelaskan dalam konvensi PBB sehingga anak-anak itu harus dilindungi," ucapnya.