REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Sejarawan Universitas Indonesia (UI) JJ Rizal mengatakan, pendekatan penyelesaian permasalahan banjir di Jakarta bisa dimulai dengan tidak melihat air sebagai musuh yang harus dienyahkan. Warga Jakarta seharusnya sadar air sudah merupakan bagian tidak terpisahkan dari hidupnya.
"Warga Jakarta menganggap saudaranya itu, air, sebagai pengganggu, biang masalah, sesuatu yang menyusahkan, beban. Karena itu ingin segera dienyahkan dari pandangan mata," ujar JJ Rizal, Rabu (8/1).
Padahal, menurut Rizal, air sudah merupakan bagian tidak terpisahkan dari hidup, seperti saudara. Hal itu dikarenakan sejak awal daerah yang kini disebut Jakarta itu lahir bersama air ketika hujan tropis sekitar 4.000 tahun yang lalu mengikis tiga punggung gunung, yaitu Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Gunung Salak.
Selain itu, lanjut Rizal, jika dilihat dari sisi linguistik atau toponimi dapat dilihat banyak daerah di ibu kota negara memiliki nama-nama yang berbau dengan air, seperti kali dan rawa. "Itu menunjukkan bahwa seharusnya daerah ibu kota memiliki ruang air atau ruang biru serta ruang hijau," tegas pendiri Penerbit Komunitas Bambu itu
Tapi kenyataannya, kata Rizal, ruang hijau di Jakarta tidak lagi mumpuni dengan hampir 90 persen area kota yang dulu disebut Batavia itu ditutup beton, termasuk dengan area yang dulunya ruangan air. "Kalau kita lihat Sungai Ciliwung yang dibeton itu dipagar tinggi-tinggi seolah-olah kita tidak bisa melihat saudara kita sendiri. Dianggap sebagai momok menakutkan yang buruk. Ini yang saya anggap kesalahan besar kita," ujar dia.
Rizal menambahkan, hal tersebut terjadi karena manusia tidak belajar dari proses dari masa lalu atau melihat sejarah dan tidak mempertimbangkan proses menghasilkan sebuah budaya yang tersimbol dari banyak hal seperti nama tempat.
Banjir terjadi di Jakarta pada awal 2020, setelah hujan yang mengguyur tanpa henti dengan curah hujan ekstrem menyebabkan daerah ibu kota dan sekitarnya tergenang air. Bahkan, menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 67 orang harus kehilangan nyawa.