REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Fraksi Golkar di MPR RI Idris Laena menilai, usulan pengembalian haluan negara cukup melalui penerbitan undang-undang (UU). Golkar pun menolak usulan pengembalian haluan negara lewat jalur amandemen UUD 1945.
"Dalam pandangan Partai Golkar, tidak ada urgensinya melakukan Perubahan UUD Negara RI 1945, dan jika hanya terkait soal isu Pokok-Pokok Haluan Negara, maka dapat dibuat dalam Bentuk Undang-Undang saja," kata Idris Laena saat dikonfirmasi Republika, Ahad (8/12).
Idris menilai, sikap fraksi Golkar mendukung sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengamandemen UUD Negara 1945, bukan perkara yang mudah karena menyangkut Konstitusi Negara. "Jika berubah satu pasal saja, akan mempengaruhi seluruh produk peraturan perundangan di bawahnya, dan sudah barang tentu juga mempengaruhi kebijakan pemerintah," kata Idris.
Idris menjelaskan, ketentuan amandemen tertuang dalam ayat 1 pasal 37 UUD 1945. Perubahan Pasal-Pasal UUD dapat diagendakan dalam Sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Ayat 3 pasal mengatur, untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945, sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-Kurangnya 2/3 atau 470 orang dari jumlah anggota MPR yang ada. Karena itu, Idris mengapresiasi Presiden Jokowi yang menolak wacana amandemen.
Idris mengatakan, dalam pandangan Partai Golkar, tidak ada urgensinya melakukan Amandemn UUD 1945. "Dan jika hanya terkait soal isu Pokok-Pokok Haluan Negara, maka dapat dibuat dalam ventuk Undang-Undang," ujar dia.
Wakil Ketua MPR RI dari fraksi PDI Perjuangan Ahmad Basarah menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya tak perlu bersikap emosional terkait ada wacana amandemen UUD 1945. Ia menilai, sikap yang ditunjukkan Jokowi itu lantaran Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) tak komprehensif menjelaskan soal wacana amandemen.
Menurut Basarah, seharusnya Jokowi mendapat masukan yang komprehensif, terkait pandangan pandangan fraksi fraksi di MPR RI yang setuju untuk menghadirkan kembali haluan negara melalui amandemen terbatas. "Termasuk fraksi dari partai politik beliau sendiri yaitu PDI Perjuangan," ujarnya.
Karena itu, Basarah menilai, seharusnya Mensesneg Pratikno selaku pembantu presiden urusan kenegaraan, dapat membuka komunikasi dan koordinasi politik yang baik soal amandemen itu. Sehingga, presiden memahami urgensi kembalinya haluan negara lewat amandemen UUD 1945 yang didorong MPR RI.
"Dalam konteks ini, fungsi-fungsi koordinasi politik dan koordinasi di presiden di lingkungan istana negara, Mensesneg harus lebih efektif, berkoordknasi dengan publik, berkoodinasi dengan kami di MPR," ujar Basarah.
Sebelumnya, Jokowi sempat menunjukkan resistensi terhadap wacana amandemen. Ia menyoroti wacana penambahan masa jabatan presiden, yang menurut dia dimunculkan karena ada pihak yang ingin menjerumuskannya hingga mencari muka kepadanya. Namun, ia enggan menyebut siapa pihak yang ingin menjerumuskannya dengan wacana itu.