Selasa 26 Nov 2019 20:31 WIB

Alasan Permohonan Grasi Annas Maamun: Uzur dan Sakit-sakitan

Permohonan grasi Annas Maamun dikabulkan oleh Presiden Jokowi.

 Gubernur Riau nonaktif Annas Maamun menjadi saksi dalam sidang perkara dugaan suap terkait revisi surat keputusan (SK) alih fungsi hutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (19/1).(Republika/ Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Gubernur Riau nonaktif Annas Maamun menjadi saksi dalam sidang perkara dugaan suap terkait revisi surat keputusan (SK) alih fungsi hutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (19/1).(Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM menjelaskan alasan mantan Gubernur Riau Annas Maamun, terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan di Provinsi Riau mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Ade Kusmanto melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (26/11) menyatakan pengajuan grasi tersebut karena alasan kemanusiaan berdasarkan Permenkumham Nomor 49 Tahun 2019 tentang Tata Cara Permohonan Grasi .

"Pertimbanganya adalah berusia di atas 70 tahun. Saat ini, yang bersangkutan berusia 78 tahun dan menderita sakit berkepanjangan," ucap Ade.

Baca Juga

Ade pun menguraikan alasan-alasan yang disampaikan dalam surat permohonan grasi Annas Maamun tersebut. "Karena usia 78 tahun sudah uzur, sakit-sakitan, sudah mulai renta, kesehatan sudah mulai menurun," kata dia.

Selanjutnya, Annas Maamun juga mengidap berbagai penyaki sesuai keterangan dokter, yakni penyakit paru obstruktif kronis (PPOK/COPD akut), dispepsia syndrome (depresi), gastritis (lambung), hernia, dan sesak nafas (membutuhkan pemakaian oksigen setiap hari). Alasan-alasan tersebut, kata Ade, yang dijadikan pertimbangan pemohon untuk mengajukan grasi kepada Presiden.

"Berdasarkan Pasal 6A ayat 1 dan 2 UU Nomor 5 Tahun 2010 (tentang grasi), demi kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum dan HAM berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi tersebut," ujar Ade.

photo
Gubernur Riau non aktif Annas Maamun

Selanjutnya, kata dia, Presiden dapat memberikan grasi setelah memperhatikan pertimbangan hukum tertulis dari Mahkamah Agung dan Menteri Hukum dan HAM. Sebelumnya, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan lembaganya cukup kaget terkait pemberian grasi kepada Annas Maamun.

"Kami cukup kaget ketika mendengar informasi pemberian grasi terhadap Annas Maamun yang justru terlibat dalam sejumlah perkara korupsi yang ditangani KPK. Bahkan kasus korupsi yang dilakukan yang bersangkutan terkait sektor kehutanan, yaitu suap untuk perubahan kawasan bukan hutan untuk kebutuhan perkebunan sawit saat itu," ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa.

Ia juga menyatakan KPK baru menerima surat dari Lapas Sukamiskin Bandung, Selasa sore yang pada pokoknya meminta KPK melakukan eksekusi dan melaksanakan Kepres No. 23/G Tahun 2019 tanggal 25 Oktober 2019 tentang pemberian grasi terhadap Annas Maamun.

"Dengan tetap menghargai kewenangan Presiden memberikan pengampunan (grasi) terhadap terpidana kasus korupsi Annas Maamun dalam perkara ini, KPK akan mempelajari surat yang dikirim oleh Lapas Sukamiskin tersebut," kata Febri.

Annas Maamun terjerat koruspi terkait dengan pembebasan lahan hutan menjadi perkebunan sawit di di tiga kabupaten berbeda sepanjang 2014 di Provinsi Riau. KPK mencatat dalam dakwaan, pembebasan lahan tersebut, seluas 2.522 hektare.

Atas pembebasan lahan tersebut, Anna Maamun menerima uang suap dalam tiga kali pemberian. Pertama senilai 166 ribu dolar AS. Kedua, Rp 500 juta, dan terakhir senilai Rp 3 miliar dari total Rp 8 miliar yang dijanjikan.

Pemberian uang tersebut, melibatkan swasta sebagai pihak yang membutuhkan lahan perkebunan kelapa sawit. Atas perbuatannya itu, Majelis Hakim PN Tipikor 2015, menyatakan Annas Maamun bersalah, dan menghukumnya dengan enam tahun penjara di LP Sukamiskin, Jawa Barat (Jabar), serta denda Rp 200 juta.

Annas Maamun, sempat melawan sampai pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) 2018. Tetapi, MA malah menambah hukumannya, menjadi tujuh tahun.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement