REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Terlalu mahal harus ku bayar kecuranganmu dengan air mata, dengan air mata, dengan air mata,".Demikian sepenggal lirik lagu dangdut bertajuk 'Mahal' karya Meggi Z yang dilantunkan merdu serta penuh penghayatan oleh Benardi saat membunuh bosan di bengkel sederhana milik bosnya.
Bermodal mik berikut pengeras suara rakitan yang memutar musik karaoke dari sambungan wifi ponsel, Bernardi tampil layaknya kontestan program televisi adu bakat yang sedang pentas di atas panggung.
Pria 47 tahun mantan pengamen jalanan di kawasan Margonda itu kini berprofesi sebagai perakit mobil odong-odong di Jalan Manunggal RT14 RW02, Kelapadua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur sejak 2007.
Di antara 60 anggota pengusaha odong-odong yang tergabung dalam Komunitas Angkutan Lingkungan Darmawisata (Anglingdarma) wilayah Jabodetabek, badan tegap berjambul pirang jadi ciri khasnya. Sore itu jarum panjang jam belum menunjuk angka 17, namun satu unit rangka Toyota Kijang kotak keluaran tahun 1984 pesanan konsumen di sudut bengkel belum juga kelar dilas Bernardi.
"Belum ada 50 persen selesai. Sudah sepuluh hari, tinggal atapnya. Mungkin sebulan lagi semuanya jadi, tinggal cet dan bongkar kaki," katanya.
Menjadi tukang las di bengkel odong-odong sepertinya sudah menjadi urusan 'perut' bagi ayah tiga anak itu. Susahnya menjadi pegawai tetap perusahaan di Jakarta, jadi alasan utamanya bertahan di bengkel las mobil milik Agus Soleh, Ketua Anglingdarma.
Biasanya sebulan sekali, satu unit bangkai mobil bekas mampu dimodifikasi Bernardi bersama seorang rekannya, Mulyadi (47), menjadi odong-odong dengan upah Rp 3 juta per unit. Kendaraan yang dimodifikasi mayoritas jenis Toyota Kijang keluaran 1986 hingga 1984 yang 70 persen komponen pabrikannya diganti dengan material buatan.
Ada yang bentuknya lokomotif, bus sekolah, tank rudal, hingga odong-odong bermesin matic. Harga satu unit odong-odong dibanderol Rp 45 juta untuk model standar dan Rp 55 juta hingga Rp 60 juta untuk paket lengkap berikut sistem suara hingga televisi.
Konsumen di bengkel Anglingdarma datang dari berbagai kawasan di Jakarta Timur, di antaranya dari yayasan pengelola sekolah taman kanak-kanak hingga pengusaha perorangan. Pesanan pun tidak menentu, tergantung musimnya.
"Kalau lagi ada perayaan hari besar seperti 1 Muharam, manasik haji, menyambut Ramadan, Hari Kartini, pasti banyak yang pesan. Tapi ada juga sepinya seperti sekarang ini," katanya.
Narik odong-odong saat langit berganti sore juga dilakoni tujuh pegawai bengkel demi menyambung hidup di Ibu Kota. Maklum, pendapatan dari bengkel belum cukup menutup urusan 'perut' hingga sekolah anaknya yang dihitung rata-rata berkisar Rp 3,5 juta sebulan.
Kalau penumpangnya sedang ramai, tidak kurang Rp 6 juta uang tambahan bisa dikantongi Bernard selama menyambi sebagai supir odong-odong. Rata-rata per hari, seorang supir sanggup memperoleh Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu dari penumpang. Apalagi kalau pas akhir pekan, bisa melonjak sampai Rp 250 ribu.
"Tarif odong-odong Rp3.000 untuk perjalanan 30-60 menit keliling kampung. Rata-rata per ritase bisa angkut maksimal 18 penumpang anak-anak, ibu rumah tangga, pembantu, hingga manula," katanya.
Larangan
Pada kurun Mei 2014 empat penumpang meregang nyawa dan belasan lainnya luka-luka usai odong-odong yang ditumpangi terlibat kecelakaan dengan truk molen di depan PT Hankook, kawasan Delta Silikon 5, Desa Cibatu, Kecamatan Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Mulyadi ingat betul jika insiden itu berdampak luas terhadap nasib pengusaha odong-odong di sejumlah kota besar, termasuk Jakarta. Otoritas terkait mulai mengeluarkan larangan hingga kompak menggelar razia bagi odong-odong yang nekat beroperasi usai petaka itu terjadi.
"Saya ingat betul, kalau saja kejadian di Bekasi tidak ada, mungkin saya dan teman-teman bisa usaha dengan nyaman sekarang. Tapi justru besok kami bakal dilarang melintas di Jakarta," katanya.
Pada 11 September 2019, Suku Dinas Perhubungan Jakarta Timur mengintensifkan sosialisasi menjelang larangan operasional bagi pengusaha odong-odong di wilayahnya.Tahap pertama sosialisasi disasar ke kalangan warga, bahwa naik odong-odong itu berbahaya.
Alasannya, kendaraan itu tidak sesuai dengan spesifikasi standar kelayakan. Itu ditegaskan Kepala Seksi Lalu Lintas Sudinhub Jakarta Timur, Andreas Eman.
Sosialisasi disampaikan kepada komunitas, kelurahan, hingga RT/RW di sepuluh kecamatan dan 65 kelurahan se-Jakarta Timur. "Kita juga sosialisasikan kepada pengemudi odong-odong dan pemiliknya di wilayah masing-masing terutama di Jatinegara dan Cipayung karena hampir semua kecamatan itu ada," katanya.
Bentuk sosialisasi yang disampaikan berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan transportasi serta Perda Nomor 5 Tahun 2015, bahwa jenis angkutan itu harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Terdapat setidaknya empat alasan terkait larangan mengaspal bagi para pengusaha odong-odong berdasarkan surat edaran yang ditandatangani Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo. Alasan mendasar adalah pelanggaran spesifikasi teknis kendaraan, khususnya tentang dimensi dan kemampuan daya angkut serta tanpa dilengkapi denganan dokumen perjalanan yang sah.
Belum adanya pengujian yang sah terkait tipe kendaraan sesuai Undang Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas danAngkutan Jalan Pasal 50 ayat (1). Odong-odong berpotensi membahayakan keselamatan berlalu lintas karena kerap merambah hingga ke jalan raya.
Dalam keterangannya, Syafrin juga mengkritisi tidak adanya tanda nomor kendaraan bermotor dengan warna dasar kuning tulisan hitam, tidak ada STNK, tidak ada kartu tanda uji berkala hingga kartu pengawasan.
Menjelang pemberlakuan larangan, pemerintah menawarkan kompensasi bagi pengemudi odong-odong, di antaranya direkrut menjadi pengemudi bajaj atau pengemudi Jak Lingko. "Atau kita bantu kursus-kursus, jadi Pemkot Jaktim juga membantu nantinya didata sopir-sopirnya itu. Kan alasannya urusan 'perut'," kata Andreas Eman.