Selasa 22 Oct 2019 15:07 WIB

Pemilihan Menteri Harus Memperhatikan Aspirasi Publik

Presiden Jokowi harus gunakan hak prerogatifnya dengan hati-hati.

Rep: Antara/ Red: Indira Rezkisari
Diundang Ke Istana Kepresidenani. Menteri Keuangan Sri Mulyani tiba di Istana Kepresidenan untuk bertemu Presiden Joko Widodo, Jakarta, Selasa(22/10).
Foto: Republika/ Wihdan
Diundang Ke Istana Kepresidenani. Menteri Keuangan Sri Mulyani tiba di Istana Kepresidenan untuk bertemu Presiden Joko Widodo, Jakarta, Selasa(22/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan hak prerogratif Presiden dalam menunjuk menteri dalam kabinet, tidak boleh menafikan prinsip moral. Yakni aspirasi publik.

"Maksudnya Presiden terpilih kan mendapat mandat publik. Jadi mestinya hak prerogratif Presiden itu ya tidak menafikan aspirasi dan kepentingan publik terkait kabinet yang dipilihnya," kata Syamsuddin Haris di Jakarta, Selasa (22/10).

Baca Juga

Dia mengatakan Presiden Jokowi harus menggunakan hak prerogatifnya dengan hati-hati untuk memastikan para pembantunya di kabinet merupakan orang-orang yang bersih. "Kalau dipilih tokoh yang bermasalah tentu itu mengabaikan prinsip moral," kata dia.

Selain itu dia juga menekankan bahwa komposisi menteri kabinet harus memperhatikan rasionalitas demokrasi. Artinya, kata dia, pemilu sebagai mekanisme menentukan siapa yang memerintah dan siapa yang menjadi oposisi, harus dikedepankan.

"Mestinya yang kalah legowo saja menjadi oposisi, dan Pak Jokowi mestinya tidak mengajak-ngajak. Ini masalahnya bukan semata satu pihak, tetapi dua pihak, baik Pak Jokowi maupun Pak Prabowo," kata dia.

Dia mengatakan dengan masuknya Gerindra ke kabinet maka rasionalitas demokrasi menjadi tidak terwujud. "Dengan begitu seolah pemilu tidak ada gunanya, yang menang dan yang kalah semua mendapat kekuasaan," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement