Rabu 09 Oct 2019 20:41 WIB

Kontras Bandingkan Penanganan Kasus Ninoy dan Novel Baswedan

Kasus Ninoy Karundeng diproses begitu cepat oleh kepolisian.

Rep: Febryan. A/ Red: Andri Saubani
Kondisi Masjid Al Falah, Pejompongan, Jakarta Pusat pada Rabu, (9/10). Masjid itu jadi buah bibir lantaran diduga jadi lokasi pemukulan, penyekapan hingga persekusi terhadap Ninoy Karundeng. 
Foto: Republika/Rizky Suryarandika
Kondisi Masjid Al Falah, Pejompongan, Jakarta Pusat pada Rabu, (9/10). Masjid itu jadi buah bibir lantaran diduga jadi lokasi pemukulan, penyekapan hingga persekusi terhadap Ninoy Karundeng. 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mempertanyakan transparansi dan profesionalitas pihak kepolisian dalam mengusut sejumlah kasus penganiayaan. Sebab, kasus penculikan dan penganiayaan terhadap relawan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Ninoy Karundeng, diproses sangat cepat, sementara ada kasus penyerangan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, yang sudah bertahun-tahun tak kunjung ada titik terangnya.

Kepala Divisi Pembelaan Hak Asasi Manusia Kontras, Raden Arif Nur Fikri, menilai, polisi selama ini tidak transparan terhadap penaganan sejumlah kasus yang menyita perhatian publik. Terbukti dengan tidak adanya informasi yang solid diterima publik terkait kasus penembakan pada 21 dan 23 Mei, serta kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, yang terjadi pada April 2017 lalu.

Baca Juga

"(Jadi) jangan heran dalam beberapa kasus, masyarakat awam merasa polisi berlaku diskriminatif. Apalagi isu yang berkembang di netizen kan Ninoy itu adalah buzzer istana dan segala macam," ungkap Arif kepada Republika, Rabu (9/10).

Ninoy Karundeng, seorang pendukung aktif Jokowi di media sosial, diketahui telah diculik dan dianiaya pada Senin (30/9) malam di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat. Ninoy mengaku ia diculik saat sedang merekam aksi unjuk rasa mahasiswa di wilayah tersebut.

Ninoy dibawa oleh sejumlah orang tak dikenal ke dalam Masjid Al-Falah, Pejompongan. Di sana ia diinterogasi dan dianiaya. Bahkan ia diancam akan dibunuh oleh seseorang yang dipanggil 'habib'. Ia baru dilepaskan pada Selasa (1/10) siang.

Pada hari yang sama saat ia dilepaskan, Ninoy membuat laporan kepada pihak kepolisian. Polda Metro Jaya, kemudian pada Selasa (8/10), menetapkan 13 orang tersangka dalam kasus penculikan dan penganiayaan tersebut.

"Selain transparansi kepolisian, (kasus) ini juga jadi batu uji profesionalitas polisi, ada tidak pilih-pilih kasus atau segala macam" ungkap Arif.

Lebih lanjut, Arif berpendapat, seharusnya polisi memprioritaskan pengangan kasus yang menjadi sorotan publik, seperti kasus-kasus  kekerasan terkait demonstrasi mahasiswa dua pekan lalu dan kasus kerusuhan pada 21 dan 23 Mei.

"Saya tidak membandingkan kasus Ninoy dengan kerusuhan, ya, tapi kan harus dilihat, masyarakat itu kan menanti-nanti polisi mengungkap kasus-kasus yang menjadi sorotan," ucap Arif.

Menurut Arif, profesionalitas Polri saat ini benar-benar sedang mendapat atensi masyarakat. Sebab, kasus kericuhan saat demo mahasiswa juga belum terungkap, padahal kejadiannya di hari yang sama dengan kasus Ninoy.

"Bagaimana dengan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Itu yang jadi pertanyaan," kata Arif.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo pernah meminta agar publik bersabar dan menunggu kinerja Polri dalam menangani kasus Novel Baswedan. Seperti diketahui, saat ini tim teknis bentukan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian sedang menindaklanjuti hasil investigasi Dewan Pakar. 

"Tolong berikan kesempatan pada tim gabungan yang dibentuk Bapak Kapolri, untuk bekerja secara profesional," kata Dedi di Jakarta, Selasa (15/1).

Dedi mengatakan, penanganan setiap kasus tidak sama dan memiliki kerumitannya sendiri. "Semuanya fokus dan komitmen dalam mengungkap kasus ini," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement