Rabu 25 Sep 2019 18:03 WIB

Nasib Baik RUU KPK, Lolos tanpa Hambatan di Parlemen

RUU KPK lolos di parlemen sementara empat RUU lainnya ditunda.

Rep: Sapto Andika Candra, Dessy Suciati Saputri, Febrianto Adi Saputro / Red: Karta Raharja Ucu
Stop Revisi RUU KPK. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar aksi unjuk rasa untuk menghentikan revisi RUU KPK di depan Komplek Parlemen DPR RI, Jakarta, Rabu (17/2). (Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Stop Revisi RUU KPK. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar aksi unjuk rasa untuk menghentikan revisi RUU KPK di depan Komplek Parlemen DPR RI, Jakarta, Rabu (17/2). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, Pada Senin (23/9), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta DPR menunda pengesahan empat rancangan undang-undang (RUU). Namun, Presiden menegaskan Keempatnya adalah RUU Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), RUU Pertanahan, RUU Perma syarakatan, dan Rancangan Kitab UU Hukum Pidana (RKUHP).

Sebagai konsekuensinya, pembahasan keempat RUU tersebut dilakukan oleh DPR periode selanjutnya, 2019- 2024. "Sehingga rancangan UU tersebut saya sampaikan, agar sebaiknya masuk ke nanti, DPR RI berikutnya," kata Jokowi di Istana Merdeka.

Menurut dia, penundaan pengesahan keempat RUU tersebut demi mendapatkan masukan mengenai substansi yang lebih baik dari masyarakat. Presiden juga ingin agar substansi RUU itu selaras dengan keinginan masyarakat.

photo
Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Penundaan keempat RUU tersebut tampak berbeda dengan nasib perubahan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang langsung disahkan oleh pemerintah dan DPR. Padahal, prosedur yang dilakukan juga sama, yaitu sama-sama maraton dalam waktu tak kurang dari sepekan sejak diumumkan ke publik.

Soal itu, Presiden Jokowi mengakui, adanya perbedaan dalam membahas revisi UU No mor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan RKUHP. Jokowi menjelaskan, perbedaan mendasar antara keduanya adalah RUU KPK merupakan inisiatif DPR, sementara keempat RUU lain yang ditunda merupakan inisiatif pemerintah.

"Yang satu itu inisiatif DPR. Ini (yang empat) pemerintah aktif karena memang disiapkan oleh pemerintah," kata Jokowi.

Padahal, dalam catatan Republika, pada April 2018 lalu Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) disetujui menjadi rancangan undang-undang usul inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fadli Zon.

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko ikut menjelaskan perbedaan sikap Presiden terhadap kedua RUU tersebut. "Tentu ada alasan-alasan. Pertama, hasil survei menunjukkan yang menyetujui untuk revisi UU KPK itu lebih banyak," ujar Moeldoko pada hari yang sama.

Ia mengatakan, berdasarkan hasil survei dari Kompas, sebanyak 44,9 persen masya rakat ingin agar UU KPK direvisi. Selain itu, revisi dilakukan dengan pertimbangan keberadaan lembaga antirasuah itu bisa menghambat upaya investasi.

"Ada alasan lagi berikutnya bahwa lembaga KPK itu bisa menghambat upaya investasi," kata Moeldoko.
photo
Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko.

Menurut Moeldoko, revisi UU KPK tak melemahkan lembaga antikorupsi. Selain itu, kata dia, pengawasan terhadap lembaga KPK pun dinilainya merupakan hal yang wajar. Begitu pula terkait poin pengadaan surat perintah penghentian penyidikan (SP-3) dalam revisi UU KPK.

Klaim Moeldoko tampak berbeda dengan sejumlah peristiwa selama dua pekan revisi UU KPK itu diumumkan hingga disahkan dalam paripurna DPR pada Selasa (17/9/). Sejumlah pegiat antikorupsi dengan tegas menolak RUU KPK karena dinilai mele mahkan KPK.

Bahkan, pegawai dan pimpinan KPK melakukan aksi penolakan dengan menutup logo KPK dengan kain hitam. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang juga langsung menyatakan mundur dan dua pimpinan KPK lainnya, Agus Rahardjo dan Laode M Syarief, mengembalikan mandat tanggung jawab terhadap KPK kepada Presiden Jokowi.

photo
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif

Saat ini, Koalisi Masyarakat Sipil tengah mempersiapkan sejumlah materi gugatan atas perubahan UU tersebut. Uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) langsung dilakukan setelah UU perubahan diundangkan secara resmi. Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUsAKO) Universitas Andalas, Charles Si mabura, mengatakan, gugatan ke MK berupa uji materiel dan uji formal.

Menurut dia, jika uji formal dikabulkan, seluruh aturan di dalam UU tersebut dapat dibatalkan. Sementara itu, jika uji materil yang dikabulkan, hal ini dapat mengubah beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman membenarkan, pihaknya bersama koalisi tengah menyiapkan uji materiel ke MK. "Kami tengah menyiapkan dalil dan bukti-bukti agar MK nantinya membatalkan beberapa pasal di dalam UU KPK itu," kata Boyamin, Ahad (22/9).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement