REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa pasal penghinaan presiden yang terdapat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak diperlukan. Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik, yang juga hadir dalam pertemuan di Istana Negara.
"Di rapat itu, Pak Presiden Jokowi secara khusus menyebut pasal penghinaan terhadap presiden, beliau mengatakan bahwa saya (Jokowi) sendiri tidak merasa perlu ada pasal itu," ujar Erma di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (24/9).
Namun, Erma menjelaskan, pasal tersebut dibuat oleh DPR bukan sekadar untuk melindungi seorang Jokowi. Ia menyebut, pasal penghinaan presiden dibuat untuk melindungi kehormatan seorang pemimpin.
"Sekali lagi kami bikin RUU KUHP ini, bikin undang-undang di negara ini, bukan untuk satu orang, bukan untuk satu partai, tapi untuk Indonesia," ujar Erma.
Politisi Partai Demokrat itu juga menegaskan, pasal penghinaan presiden sudah dijadikan delik aduan. Artinya, hanya presiden yang bisa melaporkan secara langsung jika kehormatannya merasa dihina oleh pihak lain.
"Saya khusus pasal penghinaan presiden ini saya minta teman-teman media untuk jangan melakukan penyesatan informasi. Itu delik aduan, itu kita buat karena kita resah," ujar Erma.
Diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat akan menggelar Rapat Paripurna Masa Persidangan I tahun sidang 2019-2020. Dalam rapat tersebut akan dibahas pula RKUHP, meski tidak ada dalam agenda paripurna hari ini.
"Bamus sudah mutusin untuk dibawa ke paripurna yang harus didengarkan pandangannya apakah lobi, seperti apa nanti. Tergantung paripurna," ujar Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar.
Indra menjelaskan, dalam rapat paripurna nanti akan menyampaikan hasil pertemuan antara DPR dan Presiden Joko Widodo. Fraksi di DPR juga akan dimintai pendapatnya terkait pembahasan ulang pasal-pasal kontroversial dalam RKUHP.
"Balik lagi ini keputusan dewan, yang pada tingkat I sudah ketok palu. Jadi tetap ada mekanismenya," ujar Indra.