REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan dari laporan yang masuk ke LPSK, pelaku kekerasan seksual terhadap anak, 80,23 persen adalah orang terdekat atau yang dikenal oleh korban. Sedangkan, 19,77 persen sisanya adalah orang yang tidak dikenal.
"Sebagian besar pelaku adalah orang yang dikenal oleh korban, bahkan 32 persen (dari 80,23 persen) pelaku adalah keluarga inti dari korban, baik bapaknya, bapak tiri, kakek, kakak, atau adiknya. Ini menjadi keprihatinan kami," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu pada konferensi pers di Jakarta, Rabu (24/7).
Edwin mengatakan, ada beragam motif peristiwa kekerasan seksual terhadap anak. Seperti tingkat ekonomi rendah, penyimpangan seksual, serta tontonan video porno.
"Orang dengan ekonomi rendah kebanyakan kalau di rumah yang sederhana mereka tidak ada ruang privat, satu keluarga bercampur satu ruangan, jadi apa saja yang terjadi di ruangan itu semuanya sama-sama melihat," ujar Edwin.
Selain itu, Edwin mengatakan, laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang masuk ke LPSK meningkat 100 persen setiap tahunnya sejak 2016. "Tahun 2019 ini juga angkanya lebih besar dari 2018," tambah dia.
Mengatasi hal ini, Edwin mengatakan, LPSK akan bekerja sama dengan sejumlah pemerintah daerah untuk melakukan edukasi pengenalan bagian tubuh kepada anak usia dini tingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD). "Penting untuk dikedepankan anak-anak harus diperkenalkan bagian tubuh mana saja yang tidak boleh dilihat dan disentuh orang lain, karena memang anak-anak ini rentan karena tidak punya pengetahuan dan kendali terhadap dirinya sendiri," ucap Edwin.
Edwin menyarankan, para orang tua juga harus berperan, salah satunya dengan mengendalikan anak dalam penggunaan internet melalui smartphone Selain itu, Edwin mengatakan, LPSK juga menyarankan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk lebih gencar melakukan pemblokiran situs-situs porno di Indonesia.