Kamis 20 Jun 2019 06:29 WIB

Saat Alat Bukti Gugatan Pilpres BPN Dipertanyakan Hakim MK

Tim hukum BPN tarik sejumlah alat bukti dan saksi gugatan pilpres 2019.

Sidang gugatan pilpres di MK (ilustrasi).
Foto: Dok Republika.co.id
Sidang gugatan pilpres di MK (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saksi-saksi yang disodorkan tim hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pemohon dalam sidang perselisihan hasil pemilu (PHPU) Pilpres 2019 mulai menyampaikan kesaksian di Mahkamah Konsitusi (MK), Rabu (19/6). Persidangan kemarin diwarnai penarikan alat bukti dan sejumlah saksi.

Salah satu yang mula-mula bersaksi kemarin adalah Direktur TI (Teknologi Informasi) BPN, Agus Muhammad Maksum. Saat bersaksi, ia mengklaim pernah mendapatkan ancaman pembunuhan ketika mempersoalkan daftar pemilih tetap (DPT) sebelum Pemilu 2019.

"Pernah sampai ke saya, keluarga saya tentang ancaman pembunuhan," kata Agus di hadapan majelis hakim MK di ruang sidang MK, kemarin.

Agus mengatakan, ia mendapatkan ancaman tersebut sekira April 2019, tetapi tidak melaporkannya ke pihak berwajib karena beranggapan sudah mendapat jaminan keamanan dari pihak BPN. "Satu saja saya sebut (yang ia beri tahu adanya ancaman tersebut), Pak Hashim Djojohadikusumo (direktur Media dan Komunikasi BPN)," ujar Agus.

Ia kemudian bersaksi soal dugaan manipulasi data kartu keluarga (KK) yang untuk menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019. “Ini adalah satu KK yang berisi lebih. Misalnya, ada seribu orang (dalam satu KK)," kata Agus dalam persidangan.

Di mengatakan, ada empat daerah yang datanya sudah dirangkum. Keempatnya yakni Majalengka, Magelang, Banyuwangi, dan Kota Bogor. Agus menyebut, data yang dirangkum dari empat daerah itu terdapat 117.333 temuan KK yang dimanipulasi.

Identifikasi KK manipulatif ini, Agus menambahkan, merujuk pada nomor KK yang tidak valid. Temuan kedua yang menguatkan adanya manipulasi KK, kata Agus, ditemukan anggota satu keluarga yang alamatnya berbeda-beda.

Agus Maksum dalam kesaksiannya juga mempersoalkan sebanyak 17,5 juta NIK dalam DPT yang bermasalah. Meski begitu, saat ditanyai hakim dan kuasa hukum KPU, ia tak berani memastikan bahwa jumlah tersebut ikut mencoblos.

Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih kemudian menanyakan alat bukti yang dicantumkan pemohon untuk membuktikan data invalid tersebut.

"Saya mohon hadirkan bukti P-155 untuk saya konfrontasi kemudian dengan bukti yang disampaikan KPU. Karena, saya cari di sini bukti P-155 yang menunjukkan 17,5 juta (data invalid) itu tidak ada," ujar Enny dalam sidang.

Mendengar itu, hakim MK lainnya, Aswanto, meminta tim hukum Prabowo-Sandi selaku pemohon untuk menghadirkan alat bukti tersebut. Namun, pemohon tidak dapat menghadirkan alat bukti tersebut pada saat itu juga. Mereka beralasan, penanggung jawab untuk alat bukti sedang mengurus dokumen verifikasi.

"Mohon kami diberi waktu oleh karena PIC-nya Saudara Zulfadli, Saudara Dorel Amir lagi mengurus dokumen-dokumen verifikasi," kata anggota tim hukum BPN Prabowo-Sandi, Nasrullah.

Sementara itu, tim hukum BPN juga menarik sejumlah alat bukti yang telah didaftarkan ke MK. "Ada lebih dari 30 kontainer dan mungkin dari 28 bukti di sini. Barang yang ada ini (formulir) C1, tapi akan kita tarik saja jadi nggak jadi alat bukti," ujar Ketua Tim Hukum BPN, Bambang Widjojanto, pada awal persidangan.

Alasan penarikan alat bukti itu karena tim hukum kesulitan merapikan sebelum tenggat penyerahan oleh hakim MK, yakni pada pukul 12.00 WIB, kemarin.

NIK siluman

Saksi fakta selanjutnya yang dihadirkan tim hukum BPN adalah Idham Amiruddin. Saat hendak bersaksi, Hakim Konstitusi Arief Hidayat bertanya mengenai latar belakang saksi fakta tersebut. Idham mengatakan kepada Arief, ia berasal dari kampung, tetapi akan menjelaskan permasalahan DPT skala nasional.

"Kalau Anda dari kampung, mestinya yang Anda ketahui kan situasi di kampung itu, bukan nasional kan?" kata Arief.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement