Ahad 26 May 2019 16:23 WIB

Polri Diminta Buka Laporan Penggunaan Kekuatan 21-22 Mei

Kelompok masyarakat sipil menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM pada 21-22 Mei.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Kawat berduri memblokade Jalan MH Thamrin di depan kantor Bawaslu saat berlangsungnya Aksi 22 Mei, Jakarta, Rabu (22/5/2019).
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Kawat berduri memblokade Jalan MH Thamrin di depan kantor Bawaslu saat berlangsungnya Aksi 22 Mei, Jakarta, Rabu (22/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan kelompok masyarakat sipil menemukan indikasi adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) saat kericuhan terjadi di sekitar kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 21 dan 22 Mei lalu. Dengan temuan-temuan tersebut, gabungan koalisi masyarakat sipil memberikan beberapa rekomendasi.

Setidaknya ada lima rekomendasi yang mereka berikan, di antaranya kepolisian mengumumkan kepada publik secara rinci laporan penggunaan kekuatan yang sudah sesuai prosedur tersebut. Itu dilakukan dengan mempublikasi dua formulir penggunaan kekuatan.

Baca Juga

"Perlawanan-Kendali dan Formulir Penggunaan Kekuatan dan Anev Pimpinan yang merupakan lampiran dari Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian," perwakilan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, pada konferensi pers di Jakarta Pusat, Ahad (26/5).

Menurutnya, Polri sudah sejak lama selalu mengklaim menggunakan kekuatan sesuai prosedur dalam menghadapi aksi massa atau menyergap terduga pelaku kriminal. Tapi, itu semua dilakukan tanpa disertai akuntabilitas yang jelas lewat publikasi pelaporan seperti yang ia sampaikan di atas.

Empat rekomendasi lainnya, yakni pertama, mereka merekomendasikan lembaga pemantau kepolisian untuk lekas mengevaluasi kinerja petugas Polri pada kericuhan itu. "Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas, dan Komisi III dari DPR RI untuk segera mengevaluasi kinerja petugas Polri dalam aksi 21 dan 22 Mei dalam insiden-insiden yang berpotensi merupakan pelanggaran HAM," ujarnya.

Rekomendasi berikutnya diberikan kepada penyidik Polri dan rumah sakit. Penyidik Polri harus segara mengirimkan surat tembusan pemberitahuan penahanan kepada masing-masing keluarga yang ditahan. Sedangkan rumah sakit harus memberikan informasi publik tentang jumlah orang yang dirawat dan meninggal.

"Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman dengan melibatkan masyarakat sipil perlu menyelidiki lebih lanjut tentang insiden ini, menemukan dalang di balik peristiwa, guna mencegah keberulangan peristiwa dan impunitas di masa mendatang," ungkap Isnur.

Isnur menambahkan indikasi korban dari pelanggaran HAM itu terdiri dari berbagai kalangan dan usia. "Korban dari berbagai kalangan, yaitu tim medis, jurnalis, penduduk setempat, peserta aksi, dan dari berbagai usia," ujar dia.

Selain itu, Isnur menjelaskan, mereka juga menemukan adanya penyimpangan dari hukum dan prosedur dalam penanganan aksi tersebut. Hukum dan prosedur itu, di antaranya KUHAP, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Hak Anak, Perkap 1/2009, Perkap 9/2008, Perkap 16/2006 tentang Penggunaan Kekuatan, Perkap 8/2010, dan Perkap 8/2009.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement