Selasa 25 Dec 2018 15:00 WIB

Belum Ada Alat Deteksi Tsunami Akibat Aktivitas Vulkanik

Indonesia baru memiliki 137 alat deteksi tsunami, jumlah tersebut sangat kurang.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Indira Rezkisari
Warga melintas di bawah papan petunjuk arah evakuasi bencana tsunami yang ada di kawasan Panimbang, Pandeglang, Banten, Selasa (25/12/2018).
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Warga melintas di bawah papan petunjuk arah evakuasi bencana tsunami yang ada di kawasan Panimbang, Pandeglang, Banten, Selasa (25/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan saat ini memang belum ada alat pendeteksi dan sistem peringatan dini tsunami yang disebabkan oleh longsoran aktivitas gunung api. Namun, ia mengatakan baru ada alat atau sistem peringatan dini tsunami yang terjadi akibat gempa bumi.

"Hingga saat ini belum ditemukan teknologi seperti itu di seluruh dunia. Saat ini, alat pendeteksi tsunami yang dimiliki BMKG hanya untuk tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi tektonik, dan bukan akibat gempa vulkanik, letusan gunung api, atau karena longsoran material gunung api," kata Daryono, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (25/12).

Daryono melanjutkan, saat ini memang belum ada cara agar dapat memberikan peringatan dini tsunami yang pemicunya adalah longsoran dari aktivitas gunung api. Karena itu, menurutnya, perlu ada penelitian yang melibatkan industri terkait di dalam merumuskan dan membangun sistem peringatan dini tsunami yang dirancang seperti itu.

Ia mengatakan, BMKG sudah memiliki standar operasional prosedur (SOP) dan sistem yang sudah bekerja dengan baik untuk mendeteksi tsunami akibat gempa tektonik. Namun yang belum ada, kata dia, adalah monitoring longsoran akibat gunung api.

Masalahnya, Daryono menuturkan pengamatan (monitoring) aktivitas gunung api adalah tugas pokok dan fungsi dari Pusat Vulkanologi, Mitigasi, dan Geologi pada Badan Geologi Kementerian ESDM. Dalam hal ini, BMKG menurutnya tidak boleh mencampuri operasional monitoring gunung api. Karena itulah, ia menekankan perlu adanya upaya yang kongkret untuk bisa bekerja sama dan berkoordinasi terkait 'monitoring' dan pemberian 'warning'.

"Perlu ada upaya pengawasan yang terintegrasi antara Badan Geologi dan BMKG. Sehingga, jika badan geologi bisa melakukan pengamatan dan mengenali dari kursor longsoran pengebab tsunami, peringatan dini bisa diterukan ke BMKG. Dan selanjutnya BMKG bisa meneruskan peringatan kepada masyarakat," lanjutnya.

Daryono menambahkan, saat ini ada sekitar 137 alat pendeteksi tsunami. Akan tetapi, jumlah alat tersebut sebenarnya dirasa masih kurang. Karena menurutnya, banyak pantai-pantai yang rawan tsunami belum memiliki alat pendeteksi tsunami. Dalam hal ini, ia mengatakan memang dibutuhkan lebih banyak lagi alat pendeteksi tsunami di seluruh Indonesia.

Ia menjelaskan, alat pendeteksi tsunami sejatinya bertujuan untuk mendeteksi bahwa tsunami telah terjadi. Terdapat dua jenis alat pendeteksi tsunami, yaitu jenis tidegauge yang dioperasikan oleh BMKG dan jenis buoy yang dioperasikan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Ia mengatakan, kedua jenis alat ini sama-sama bisa mengetahui jika tsunami terjadi. Buoy dipasang di tengah laut, sedangkan Tidegauge dipasang di pantai.

Sayangnya, ia mengatakan sekitar 21 buoy rusak karena aksi vandalisme yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Banyak buoy yang rusak karena dipakai untuk memancing ikan, tambat laut dan sebagainya. Padahal, menurutnya, alat ini bisa  memberikan konfirmasi lebih awal jika tsunami terjadi karena buoy dipasang di tengah laut.

 

Untuk kasus tsunami di Selat Sunda pada Sabtu (22/12) lalu, Daryono menuturkan bahwa alat pendeteksi tsunami jenis tidegauge milik BMKG mencatat peristiwa tsunami dengan sangat bagus. Menurutnya, ada 4 tidegauge yang mencatat tsunami di Selat Sunda yang terpasang di stasiun Pantai Jambu, pelabuhan Ciwandan, Kota Agung, dan pulau-pulau panjang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement