REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Air laut di Pelabuhan Wani, Tanantovea, Kabupaten Donggala, Jumat (28/9) sore pekan lalu, tampak tidak berbeda dengan hari biasanya. Namun siapa sangka, tidak sampai hitungan jam, air laut di Teluk Palu tersebut menumpahkan isi-isinya ke daratan pesisir sekitarnya.
Tak hanya tumpah ruah, gelombang air tsunami dengan kecepatan tinggi itu pun meluluhlantakkan bangunan yang dilaluinya. Donu (57), warga pesisir di Pelabuhan Wani, menuturkan saat gempa terjadi disertai tsunami datang sepekan lalu.
Ia menuturkan, gelombang tsunami menyapu rumah dan perkampungannya tidak berselang lama dengan gempa yang membuat tanah Palu dan sekitarnya bergetar. Padahal seperti pengalaman gempa dan tsunami Aceh, ada rentang waktu antara gempa dan tsunami.
“Ini tidak, tidak lama, setelah gempa itu bergoyang, itu air naik cepat," kata Donu.
Donu menceritakan, dirinya di pesisir persis Pelabuhan Wani saat gelombang yang-menurutnya-tinggi lebih dari pohon kelapa menghantam pesisir Pelabuhan Wani. "Itu ada tiga gelombang itu, tinggi-tinggi sekali, bentuknya gini (sambil mencontohkan ular cobra dengan tangannya), seperti mau makan kampung ini, berlapis-lapis itu gelombangnya," ujar Donu.
Ia pun berbalik menjauh arah gelombang dan berteriak agar orang-orang berlari ke daratan lebih tinggi. "Saya berbalik ke rumah, saya teriak lari-lari, itu air langsung hantam kantor pelabuhan," ujar Donu.
Kapal TNI AL yang terdampar di jalanan akibat tsunami Jumat (28/6). (Antara)
Donu juga menyaksikan langsung bagaimana dahsyatnya gelombang tsunami menyeret Kapal Motor Sabuk Nusantara 39 yang sedang bersandar di pelabuhan tersebut dan juga tiga kapal lainnya hingga ke daratan. Namun, ia bersyukur ia berhasil lari dan menyelamatkan diri di atap rumahnya.
Donu juga menyebut air laut yang tumpah ruah tersebut tidak langsung surut, namun berangsur-angsur. Gelombang tsunami menyisakan puing-puing bangunan yang sudah tidak beraturan.
"Oh tidak, pelan-pelan, air surut, lalu porak poranda, itu semua, ada juga yang meninggal di sini," kata Donu.
Darwis, pelaksana tugas Desa Wani II yang juga melihat dengan matanya sendiri dari atap rumahnya. KM Sabuk Nusantara 39 terseret gelombang tsunami sepanjang 15 meter.
"Posisi kapal itu satu garis dengan pelabuhan, tetapi demikian besar gelombangnya, itu posisinya berlawanan, andai kata itu tidak ada gerbang pelabuhan, sudah masuk itu kapal ke perkampungan, itu sepotong badan kapal sudah jalan desa, mengerikan sekali," ujar Darwis.
Darwis mengungkap, suara gemuruh juga menyertai gelombang tsunami itu datang. Menurutnya, suara warga yang berteriak menyelamatkan diri sampai tidak terdengar.
Banyak masyarakat yang saat itu hendak menjalankan sholat magrib pun kemudian berlari menyelamatkan diri. "Orang-orang berlarian, sama-sama menyelamatkan diri, itu sudah tidak beraturan," ujarnya.
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla saat mengunjungi korban terdampak gempa dan tsunami di Palu. (Republika)
Satu pekan pascagempa dan tsunami, kondisi Palu berusaha bangkit. Antrean pengisian BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di sekitar Palu, berkurang pada Sabtu (6/10).
Hal itu menyusul instruksi Wakil Presiden Jusuf Kalla agar penjualan BBM dilakukan dengan cara konvensional, yakni menggunakan gayung. Sebelumnya, antrean pengisian bensin di SPBU mengular sampai luar SPBU.
Selain itu, pasokan listrik juga mulai berangsur normal dengan luasan wilayah bertambah, di mana sebelumnya hanya di bagian wilayah pusat Kota Palu saja. Sementara perekonomian belum sepenuhnya berjalan.
Ada pasar dan warung yang buka, tetapi bisa dihitung dengan hitungan jari. Selain itu, pasar yang dibuka juga dijaga ketat oleh aparat keamanan. Sementara warung yang buka hanya menjual bahan sisa warung sebelum gempa.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengakui masih ada sejumlah kendala terkait tanggap darurat bencana di Sulawesi Tengah (Sulteng). BNPB merinci masalah semisal kurangnya pasokan air bersih masih menghantui sejumlah titik pengungsian.
"Di Palu kekurangan air bersih karena jaringan pipa-pipa terutama ke rumah tangga banyak yang hancur saat terjadi gempa," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (6/10).
Sutopo mengatakan, tak hanya merusak saluran air, gempa juga mengakibatkan persediaan air menjadi keruh. Dia mengatakan, cadangan air yang berada di lokasi berubah menjadi coklat atau hitam sehingga tidak layak digunakan.
Sejumlah umat Islam menunaikan Salat Magrib berjamaah usai berzikir bersama di lokasi terjadinya gempa bumi yang disusul gelombang tsunami di Anjungan Pantai Talise, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (5/10). (Republika)
Dia mengatakan, guna menanggulangi hal tersebut, pemerintah telah mengerahkan sejumlah mobil tangki pengangkut air ditambah bantuan lainnya. Dia mengatakan, pemerintah juga membangun sumur atau sumber air darurat untuk mengatasi kelangkaan air bersih tersebut.
Kendala lainnya, Sutopo menerangkan, adalah fasilitas Mandi, Cuci Kakus (MCK) terutama dintempat pengungsian. Dia mengatakan, lokasi yang dijadikan tempat pengungsian hingga saat ini masih memerlukan MCK terseburlt.
"Meski MCK portabel dibangun disana tapi kita masih memerlukan lagi," kata Sutopo.
Dia mengatakan, kebersihan dan ketersediaan MCK kerap kali berpotensi menimbulkan penyakit seperti saat di Lombok. Sebabnya, dia mengatakan, ketersedian air bersih dan MCK harus dipasok ke pengungsian. Begitu juga, lanjutnya, dengan jaringan listrik yang baru pulih hingga 75 persen di kawasan tersebut.
"Nah, Donggala juga hampir sama dimana warga juga masih mengalami kekurangan logistik dan alat berat disana terbatas," katanya.
Berdasarkan data BNPB, jumlah pengungsi bencana Sulteng mencapai 62.359 ribu jiwa. Mereka tersebar di 147 titik. Sejauh ini, 6.157 pengungsi telah dievakuasi melalui jalur udara.
Mereka menuju Makassar, Jakarta, Manado dan Balikpapan. Sebanyak 1.913 orang juga telah dievakuasi lewat jalur laut ke Makassar dan Balikpapan.