Selasa 15 May 2018 16:54 WIB

Psikolog Duga Anak Pelaku Bom Ditanamkan Doktrin Sejak Dini

Penanaman ideologi dilakukan secara intensif dengan komunikasi yang spesifik.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Indira Rezkisari
Seorang suporter menyalakan lilin saat aksi solidaritas terkait aksi tragedi teror bom di Surabaya dan Siduarjo di Taman Suropati, Jakarta, Senin (14/5).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Seorang suporter menyalakan lilin saat aksi solidaritas terkait aksi tragedi teror bom di Surabaya dan Siduarjo di Taman Suropati, Jakarta, Senin (14/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Hudaniah, melihat pengaruh suatu doktrin dalam keluarga memiliki kekuatan yang lebih besar dibanding organisasi. Sebab, keluarga merupakan komunitas terkecil dengan unit kohesif dan interaksi primer.

Keluarga merupakan organinasasi dengan interaksi antarsatu anggota dengan lainnya paling kuat dibandingkan bentuk kelompok lain. Dampaknya, anggota keluarga memiliki kemungkinan besar untuk saling mempengaruhi dengan suatu doktrin.

Pemahaman yang tertanam dalam keluarga biasanya bertahan lebih lama karena cenderung memiliki kesamaan karakter dan latar belakang. "Kesamaan yang terbentuk menajdi keluarga ini tentu menjadi semakin intensif mempengaruhinya," ujar Hudaniah, ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (15/5).

Baca juga: Peluk Tangis Anak-Anak Dita Maghrib Sebelum Aksi Bom

Metode penanaman doktrin ini, terjadi pada kasus bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya, Ahad (13/5) dan Senin (14/5). Pelaku merupakan keluarga yang turut mengajak anak-anak untuk terlibat dalam bom bunuh diri. Hudaniah melihat, pola ini sebagai fenomena baru yang 'unik' di Indonesia.

Untuk keterlibatan anak, penanaman ideologi tentang jihad sudah ditanamkan sejak dini. Penanaman ideologi ini sebenarnya sama dengan penanaman nilai lain dalam kehidupan, misal nilai berbuat baik, mengajarkan Pancasila dan nilai lain. "Tidak jarang juga, orang tua turut mengajak anak ikutan aksi, sehingga anak sudah mulai belajar dengan tahap perkembangan kognitif mereka," ucap Hudaniah.

Kemampuan anak untuk memahami tergantung pada usia anak. Untuk usia bayi, mereka masih harus menyentuh, melihat dan meraba, sedangkan dalam usia dua hingga tujuh tahun, mereka mulai belajar menggunakan bahasa. Misal, meniru orasi dan lagu, kontennya pun bisa lebih spesifik.

Penanaman ideologi tersebut dilakukan secara intensif dengan komunikasi yang spesifik karena umumnya keluarga bertemu hampir setiap hari. "Ini yang membuat ideologi dan suatu doktrin dalam keluarga menjadi kuat untuk terpengaruh dari satu anggota ke anggota keluarga lain," tutur Hudaniah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement