Selasa 15 May 2018 07:48 WIB

Aliansi PKTA: Bom Surabaya Bentuk Kekerasan Terhadap Anak

Tindakan biadab ini mengorbankan anak dan menghadapkan anak dalam pusaran konflik.

Rep: Laeny Sulistyawati/ Red: Bilal Ramadhan
Kediaman keluarga pelaku bom bunuh diri di Jalan Wonorejo Asri XI Blok K/22, Rungkut, Surabaya.
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Kediaman keluarga pelaku bom bunuh diri di Jalan Wonorejo Asri XI Blok K/22, Rungkut, Surabaya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA) menyebut pengeboman yang terjadi di Kota Surabaya, Jawa Timur, Ahad (13/5), berdampak negatif bagi anak dan ini menjadi bentuk kekerasan terhadap anak.

Ketua Presidium Aliansi PKTA Zubedy Koteng mengatakan, peristiwa aksi teror di tiga gereja di Kota Pahlawan hingga serangkaian aksi terror pembunuhan lima polisi di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu merupakan tindakan yang tercela. Apalagi, tindakan biadab ini sampai mengorbankan anak-anak dan menghadapkan anak-anak dalam pusaran konflik yang menakutkan.

"Aksi-aksi tersebut sudah merugikan atau berdampak negatif bagi anak," katanya saat acara Gerakan Bersama Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak dan Diskusi Publik Sekolah tanpa Kekerasan dalam Mendukung Sekolah Ramah Anak melalui Pendekatan Disiplin Positif, di Jakarta, Senin (14/5).

Ini karena ada anak yang harus kehilangan orang tua atau anggota keluarganya. Bahkan, kata dia, ada anak yang ikut terbunuh. Karena itu, kata dia, Aliansi PKTA mengaku prihatin dan mengecam keras peristiwa teror yang mengorbankan anak-anak.

Ia menegaskan, segala tindakan yang melibatkan anak-anak dalam situasi konflik merupakan bentuk kekerasan terhadap anak. Ia mengutip berdasarkan Konvensi Hak Anak yang juga tertuang di undang-undang (UU) no 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak maka ancaman pidana diberikan bagi setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan hingga penganiayaan terhadap anak.

"Padahal, dalam ajaran dan agama apa pun, anak adalah amanah Tuhan yang harus dirawat, diasuh, dan harus dijaga keberadaan dan kelangsungan hidupnya," ujarnya.

Karena itu, Aliansi PKTA mengimbau kepada masyarakat untuk meningkatkan kepekaan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak demi kepentingan terbaik anak dengan tidak menyebarkan data, foto, atau video anak yang menjadi korban teror bom. Ini demi melindungi identitas anak serta proses pemulihan fisik dan mental korban.

Sebelumnya, Kota Surabaya diguncang tiga bom. Peristiwa biadab itu terjadi mulai Ahad (13/5) kemarin pukul 07.13 WIB di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, Surabaya.

Menyusul kemudian ledakan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan di Jalan Arjuno serta Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro 146 di Jalan Raya Diponegoro. Pelaku pengeboman ini teridentifikasi sebagai keluarga Dita Supriyanyo yang tinggal di Wonorejo, Rungkut, Surabaya.

Dita terlebih dahulu mengantar istri dan dua anak perempuannya di Gereja GKI, Jalan Diponegoro. Istrinya bernama Puji Kuswati. Kemudian, anaknya yang perempuan berumur 12 tahun dan PR (9 tahun) mengebom di Gereja Jalan Diponegoro, sementara anak-anaknya yang lain, Yusuf Fadil (18) dan Firman Halim (16), mengebom di Gereja Katolik di Ngagel Madya.

Kehidupan adalah anugerah berharga dari Allah SWT. Segera ajak bicara kerabat, teman-teman, ustaz/ustazah, pendeta, atau pemuka agama lainnya untuk menenangkan diri jika Anda memiliki gagasan bunuh diri. Konsultasi kesehatan jiwa bisa diakses di hotline 119 extension 8 yang disediakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes juga bisa dihubungi pada 021-500-454. BPJS Kesehatan juga membiayai penuh konsultasi dan perawatan kejiwaan di faskes penyedia layanan
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement