REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai vonis hukuman kepada mantan Ketua DPR Setya Novanto terlalu sedikit. Ia mengatakan, seharusnya terdakwa kasus dugaan korupsi KTP-el tersebut divonis maksimal yaitu 20 tahun penjara atau seumur hidup.
"Seharusnya dihukum maksimal, mengingat perannya cukup dominan," kata Fickar, pada Republika.co.id, Selasa (24/3).
Pendapat Fickar tersebut didasarkan oleh pernyataan sejumlah terdakwa kasus KTP-el lainnya mengenai keterlibatan Novanto. Di antaranya adalah pernyataan dari Depdagri dan Andi Agustinus atau Andi Narogong yang menyatakan terdakwa akan mengorganisasi terlasananya proyek tersebut.
Meskipun demikian, tambahan hukuman lainnya dinilai Fickar cukup setimpal. Adanya kewajiban Novanto membayar uang pengganti sejumlah 7,3 juta dolar AS serta pencabutan hak politik menurut Fickar cukup tepat dijatuhkan pada terdakwa.
Lebih lanjut, ia menambahkan KPK harus mengusut tuntas kasus korupsi KTP-el ini. Termasuk memproses nama-nama lain yang disebut selama persidangan korupsi KTP-el berlangsung.
"Nama-nama yang disebut menerima harus diproses, agar perkara KTP-el ini tuntas," ujar dia.
Sebelumnya, Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memberikan vonis hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Novanto, Selasa. Hukuman tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut terdakwa dengan hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Majelis hakim menilai semua unsur pasal tindak pidana korupsi telah terpenuhi, yaitu merugikan negara dan memperkaya diri sendiri dari proyek KTP-el. Novanto dinilai menggunakan kewenangan atau jabatan untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya.