REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah menjalani 31 sidang selama sembilan bulan, ternyata ditemukan sejumlah temuan dalam kasus mark up listrik di Apartemen Kalibata City. Hal ini diungkapkan oleh kuasa hukum 13 warga Apartemen Kalibata City juga sebagai tergugat, Syamsul Munir.
"Setelah jalani sejumlah persidangan, ditemukan beberapa temuan dalam kasus ini. Mulai dari kejanggalan di bagian biaya air, listrik, dan juga lainnya," papar Syamsul dalam keterangan tertulisnya, Rabu (11/4).
Adapun temuan-temuan itu adalah:
1. Listrik
Para tergugat tidak bisa menunjukkan perizinan wajib (IUPTL, IUJPTL, SPJTL) untuk mendistribusikan listrik serta mengelola jaringan listrik, sebagaimana perintah UU No. UU No. 30 Tahun 2009 Tentang KETENAGALISTIKAN Pasal 19 ayat 2.
Bukti-bukti dan saksi menunjukkan di Green Palace, sampai awal 2015, tarif listrik LEBIH TINGGI daripada tarif PLN, bahkan bisa 60% lebih tinggi. Kerugian bagi para pemilik Green Palace untuk perbedaan tarif ini saja bisa milyaran rupiah. Silakan memeriksa tagihan-tagihan listrik lama dan dibandingkan dengan tarif PLN, maka akan langsung terlihat mark-up tagihan tersebut.
Ada tagihan atas pemakaian bersama (PPJU, biaya administrasi, dll.) dalam tagihan masing-masing unit, padahal dengan IPL Kalibata City yang jauh lebih mahal daripada apartemen lain (termasuk yang lebih mewah) seharusnya hal itu dimasukkan dalam IPL. Kenyataannya, dalam laporan IPL disebutkan komponen listrik. Ini artinya ada penagihan ganda terhadap seluruh warga Kalibata City yang terdiri dari 13.500 unit.
Ada biaya pemakaian minimum listrik, padahal warga Kalcit bukan pelanggan PLN karena tidak memiliki ID Pelanggan, sehingga unit yang sedang tidak ditempati tetap harus membayar listrik. Di luar Kalibata City, PLN menagih biaya minimum untuk menutup biaya pencatatan meter kepada pelanggannya. Di Kalcit, biaya pencatatan meter itu sudah termasuk dalam operasional yang ditanggung oleh IPL sehingga tidak boleh ada biaya pemakaian minimum.
2. Air
Tarif air yang ditagih kepada warga Residence dan Regency adalah tarif maksimum, padahal seharusnya mengikuti tarif progresif. Sehingga warga, terutama yang pemakaiannya hemat, amat dirugikan.
Tarif air di Green Palace mengacu pada golongan V yang lebih mahal, padahal seharusnya mengacu pada golongan IVB seperti apartemen lain.
3. Lain-Lain
Saksi dari Tergugat menyatakan bahwa P3SRS Pengelola belum mendapat pengesahan dari Gubernur sebagaimana perintah PERDA No.1 tahun 1991 tentang Rumah Susun di daerah Ibu Kota Jakarta) yang menyebutkan "AKTA PEMBENTUKAN PERHIMPUNAN PENGHUNI SATUAN RUMAH SUSUN SEBAGAIMANA DIMAKSUD AYAT 1 PASAL INI HARUS DISAHKAN OLEH GUBERNUR KEPALA DAERAH". Ini berarti belum ada P3SRS di Kalibata City yang mendapatkan pengesahan dan belum ada yang bisa melakukan tindakan hukum. (Catatan: P3SRS Warga sampai saat ini masih tetap aktif mengupayakan pengesahan dari Gubernur DKI Jakarta).
Saksi lain dari tergugat ditolak oleh majelis hakim karena sebagai pihak Tergugat 3 yakni GM Badan Pengelola Kalibata City. Disisi lain pihak Tergugat 3 yakni Badan Pengelola tidak pernah hadir dalam sidang, namun tiba-tiba muncul sebagai saksi.
PPJB Warga Kalibata City ditandatangani tidak di hadapan notaris sehingga melanggar peraturan tentang PPJB dan berisi klausula baku yang melanggar UU Perlindungan Konsumen. House Rules Kalibata City ditetapkan menggunakan UU 16/1985, padahal sejak 2011 sudah berlaku UU 20/2011 sehingga sudah tidak layak digunakan sebagai bukti.
Para penghuni apartemen/rusun lain di Jakarta maupun seluruh Indonesia banyak yang menunggu hasil gugatan ini karena mark up semacam ini juga terjadi di banyak lokasi lain.
Untuk diketahui, akhir Agustus 2016, Badan Pengelola Kalibata City, disetujui oleh direksi PT Pradani Sukses Abadi dan P3SRS yang dibentuk oleh pengelola dengan pengurus Andi Setiyawan, Khairul Aldes, dan Sumandi, tiba-tiba mengumumkan tagihan Biaya Kelangkaan Air yang ditagih mundur mulai Januari 2015.
Warga kaget karena ada yang terkena tagihan hingga belasan juta rupiah yang harus dibayar pada awal September 2016. Setelah warga melakukan protes beramai-ramai yang dimotori oleh Komunitas Warga Kalibata City (KWKC) akhirnya Badan Pengelola membatalkan Biaya Kelangkaan Air tersebut.
Dalam proses memperjuangkan pembatalan Biaya Kelangkaan Air, sejumlah warga juga menemukan ada mark-up tagihan listrik dan air yang baru disadari setelah meneliti lembar-lembar tagihan. Dari laporan yang masuk, mark up ini ditemukan terjadi secara merata di seluruh tower di Kalibata City.
KWKC lalu memutuskan untuk melanjutkan dengan melakukan somasi pada 16 Januari 2017 kepada Pengelola dan Pengembang atas nama 13 warga yang telah memasukkan datanya sesuai batas waktu. Karena somasi tidak ditanggapi, akhirnya diajukan gugatan ke PN Jakarta selatan pada 24 Mei 2017.
Kerugian dari 13 warga yang menggugat adalah sekitar Rp 23.500.000, namun mengingat seluruh unit di Kalibata City mengalami mark up, maka kerugian total seluruh warga ditaksir bisa lebih dari Rp 25 miliar.