Kamis 22 Feb 2018 23:32 WIB

Ketua MK Enggan Komentari Desakan Mundur dari Banyak Pihak

Arief Hidayat berkelit tidak mau Indonesia gaduh

Ketua MK Arief Hidayat saat konferensi pers pada halal bihalal bersama hakim MK serta media di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (20/7).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Ketua MK Arief Hidayat saat konferensi pers pada halal bihalal bersama hakim MK serta media di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (20/7).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat enggan berkomentar mengenai desakan mundur terhadap dirinya sebagai pimpinan lembaga tinggi negara tersebut. "Saya enggak ada komentar," katanya ditemui usai menghadiri penganugerahan gelar doktor honoris causa (HC) kepada Jaksa Agung M Prasetyo di Universitas Diponegoro Semarang, Kamis (22/2).

Sembari berjalan ke luar ruangan menuju mobilnya, Guru Besar Fakultas Hukum Undip Semarang itu enggan berkomentar lebih jauh, seraya menyebutkan sedang terburu-buru menuju bandara. "Saya enggak mau Indonesia gaduh," katanya singkat.

Sementara itu, Rektor Undip Prof Yos Johan Utama mengaku tidak bisa berkomentar mengenai desakan mundur yang disampaikan kepada salah satu profesor di kampus yang dipimpinnya. Secara prinsip, Yos mengatakan tidak bisa berbicara sebagai pribadi mengenai persoalan itu, sebab hal-hal yang berkaitan dengan dosen di Undip harus dibicarakan di dewan profesor dan senat akademik.

"Pertimbangan-pertimbangan apa di situ, baru saya boleh ngomong. Apakah tindakan, seperti apa, dan sebagainya, baru kami lakukan. Tentu kami menunggu dari Senat Akademik dan Dewan Profesor," katanya.

Namun, Guru Besar FH Undip itu mengaku belum mengetahui rencana pembahasan persoalan yang menyangkut Arief Hidayat itu di senat akademik dan dewan profesor karena merupakan lembaga tersendiri. "Apakah beliau-beliau dari senat akademik, khususnya Prof Sunarso (Ketua Senat Akademik Undip). Apakah sudah ada surat kepada beliau, saya kurang tahu," katanya.

Sebelumnya selama menjabat Ketua MK, Arief Hidayat telah dua kali dinilai melanggar kode etik. Pertama dianggap membuat surat titipan (katebelece) kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk "membina" atau memberikan posisi seorang kerabatnya sehingga pada 2016 Arief Hidayat mendapatkan sanksi etik berupa teguran lisan dari Dewan Etik MK.

Pelanggaran kedua, yakni melakukan pertemuan dengan sejumlah Pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta yang diduga melobi agar bisa maju sebagai calon tunggal hakim konstitusi. Imbauan moral untuk muncul, antara lain dari 76 guru besar dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dengan mengirimkan surat dan makalah sebagai lampiran, kepada sembilan hakim konstitusi dan tiga orang Dewan Etik MK.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement