REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai, fungsi kontrol dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) belum optimal. Hal itu terbukti, dari banyaknya buku pelajaran yang memuat unsur SARA dan lainnya, lolos dari pengawasan.
"Artinya ada peran Puskurbuk yang tidak maksimal, salah satunya untuk mengontrol buku yang akan dipakai sekolah," ungkap Wakil Sekjen (Wasekjen) FSGI Satriwan Salim usai menggelar konferensi pers tentang Catatan Akhir Tahun (Catuha) Pendidikan 2017 di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Menteng, Selasa (26/12).
Dia menegaskan, fungsi kontrol dari Purkurbuk dinilai sudah sangat rendah dan memprihatinkan. Sebab, dalam kurun waktu satu tahun beberapa buku dilaporkan oleh masyarakat karena adanya konten yang tidak sesuai.
Seperti lolosnya buku pelajaran yang memuat konten ajaran radikalisme, buku yang berisi konten kekerasan dan pornografi. Serta terakhir, kesalahan pada buku IPS SD kelas VI yang menyebut Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
"Selain itu ditemukan juga buku pelajaran anak, yang diduga kuat berisi konten yang mengkampanyekan LBGT, kan ini menjadi warning sekali bagi kita," kata Satriwan.
Untuk itu, dia mengusulkan, agar pusat kurikulum dan pusat perbukuan dipisah saja. Hal itu bertujuan agar, Sumber Daya Manusia (SDM) yang bertugas mengontrol buku dan kurikulum pendidikan lebih maksimal.
"Biasanya alasan mereka beralasan kurang SDM, dan lain-lain, sehingga kinerja pusat perbukuan tidak maksimal. Nah, maka kami usulkan agar pusat kurikulum dan pusat perbukuan dipisah saja agar kedua fungsi itu bisa all out," tegas dia.
Menurut dia, fungsi kontrol atau editing dari Kemendikbud juga perlu diterapkan untuk seluruh penerbit buku yang menerbitkan buku-buku pelajaran. Hal itu dilakukan, untuk mencegah agar kesalahan-kesalahan serupa tidak terus dan terus berulang.