Senin 11 Dec 2017 08:05 WIB

Anak Perempuan Nikah di Bawah Usia 18 Tahun Masih Tinggi

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Elba Damhuri
Ilustrasi Pernikahan Dini
Foto: Republika/ Wihdan
Ilustrasi Pernikahan Dini

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM – Kondisi perkawinan anak di Indonesia sudah dikategorikan darurat. Berdasarkan data UNICEF, Indonesia menempati urutan ketujuh di dunia dan kedua tertinggi di Asia Tenggara dalam perkawinan anak.

“Ini sudah darurat,” kata Deputi Menteri Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny Rosalin di Mataram, Ahad (10/12).

Lenny menyampaikan, data BPS mengungkapkan, anak perempuan Indonesia yang menikah di bawah usia 18 tahun pada 2016 mencapai 17 persen. Ini berarti satu dari tujuh perempuan di bawah 18 tahun di Indonesia sudah menikah.

NTB menjadi salah satu provinsi dengan tingkat perkawinan anak yang cukup tinggi, mencapai 25 persen. Dengan begitu, satu dari empat perempuan di bawah usia 18 tahun di NTB telah menikah.

"Ini sudah darurat, bayangkan kalau satu dari empat perempuan di NTB kawin di usia anak, mau seperti apa SDM ke depan," kata Lenny.

Beragam persoalan menjadi dampak negatif akibat perkawinan anak. Tingginya perkawinan anak, kata dia, akan menurunkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu daerah atau negara. Pun dengan rendahnya partisipasi memenuhi wajib belajar 12 tahun akibat keluar dari sekolah karena menikah dini.

Dari sisi kesehatan, perkawinan anak juga menyisakan sejumlah persoalan dengan tingginya risiko kematian ibu dan bayi. Anak-anak yang menikah dini, kata dia, mengakibatkan munculnya para pekerja usia anak.

Lenny mengatakan, lima strategi utama KPPPA dalam mencegah terjadinya perkawinan anak. Pertama, sosialisasi dan advokasi kepada anak. KPPPA telah memiliki forum anak yang tersebar dari tingkat nasional hingga ke desa. Lenny berharap anak-anak memiliki kesadaran dalam menentukan sikap terkait perkawinan anak.

Kedua ialah keluarga. KPPPA mendirikan pusat pembelajaran keluarga di provinsi dan kabupaten/kota untuk mencegah perkawinan anak. Menurut Lenny, keluarga memiliki peran penting dalam menekan tingginya perkawinan anak.

"Seolah-olah perkawinan anak selesaikan masalah keluarga, padahal setelah kawin justru menambah beban keluarga. Ini yang harus kita luruskan," ujar Lenny.

Ketiga ialah sekolah yang menjadi titik sentral bagi anak untuk terus menyelesaikan wajib belajar 12 tahun. Keempat, faktor lingkungan. Lenny meminta anak-anak diberikan ruang untuk menjalankan hobinya yang positif seperti olahraga hingga kesenian.

Faktor kelima terletak pada kebijakan kepala daerah. Dia menyebutkan, kebijakan kepala daerah sangat berpengaruh dalam pencegahan perkawinan anak di daerah masing-masing.

Lenny menambahkan, beragam faktor ini merupakan hal yang harus dilakukan secara bersama dalam menurunkan angka perwakilan anak.

"Kita (KPPPA) tidak bisa sendirian, tapi harus bersama-sama pihak lain, mulai dari pemda, LSM, dan juga media dalam mengampanyekan gerakan setop perkawinan anak," katanya.

Selain itu, Lenny meminta dunia usaha ikut berkontribusi dengan tidak menerima pekerja usia anak-anak.

(Pengolah: muhammad hafil)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement