REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi mengecam praktik perkawinan usia anak yang viral terjadi di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Arifah menegaskan pernikahan tersebut merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak anak yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan adat maupun budaya.
Anak-anak didefinisikan sebagai individu yang berusia di bawah 18 tahun. “Pernikahan yang terjadi di Lombok Tengah jelas merupakan bentuk perkawinan usia anak, karena anak laki-laki berusia 17 tahun dan perempuan masih 15 tahun. Menikahkan anak berarti melanggar hak dasar anak, termasuk hak atas pendidikan, perlindungan, dan tumbuh kembang yang layak,” kata Arifah kepada wartawan, Kamis (29/5/2025).
Arifah menyebut batas usia minimal untuk menikah di Indonesia adalah 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan sebagaimana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam Pasal 4 menyebutkan pemaksaan perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan seksual. Sehingga Arifah menegaskan menikahkan anak bukan hanya melanggar hukum, tetapi dapat berujung pada sanksi pidana maupun administratif.
“Pemerintah telah berkomitmen untuk melindungi hak-hak anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk dengan mencegah terjadinya perkawinan anak," ujar Arifah.
Arifah menjelaskan perkawinan usia anak bukan hanya masalah pribadi atau keluarga, melainkan persoalan sosial dan pembangunan nasional. Sebab praktik ini berdampak pada tingginya angka putus sekolah, meningkatnya prevalensi stunting, serta rendahnya rata-rata lama sekolah.
“Mengurangi praktik perkawinan anak berarti melindungi anak-anak dari dampak jangka panjang, baik dari sisi kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun sosial. Usia adalah indikator penting kesiapan untuk menikah, dan negara wajib memastikan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang mendukung mereka menjadi generasi sehat dan cerdas,” ucap Arifah.
Aparat desa seperti Kepala desa, kepala dusun, Babinsa (Bintara Pembina Desa), dan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) telah berupaya mencegah terjadinya praktik perkawinan usia anak. Bahkan Koalisi OMS Stop Kekerasan Seksual di NTB melaporkan kasus ini ke Polres Mataram.