Jumat 17 Nov 2017 04:05 WIB

TSI Juga Diminta Evaluasi demi Keselamatan Satwa

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Indira Rezkisari
Pengunjung menyaksikan atraksi gajah di arena rekreasi Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Bogor, Jabar
Foto: Antara/Jafkhairi
Pengunjung menyaksikan atraksi gajah di arena rekreasi Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Bogor, Jabar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Benvika menilai, pemberian minuman keras oleh pengunjung ke satwa di Taman Safari Indonesia pada Selasa (14/11) sore merupakan tindakan bodoh. "Itu hanya kesenangan pribadi, tanpa melihat bahwa tindakannya bisa merugikan keselamatan dan kesehatan satwa," tutur Iben, sapaan akrabnya.

Terlebih, Iben menambahkan, jika dilihat dari video, salah satu satwa yang diberikan minuman keras adalah Rusa Sambar. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7tahun 1999, jenis tersebut termasuk dalam kategori dilindungi. Sementara, menurut International Union for Conservation of Nature, Rusa Sambar tergolong satwa rentan alias menghadapi risiko kepunahan di alam liar.

Tidak hanya dari pengunjung, pihak TSI juga harus bertanggung jawab. Sebab, Iben melihat, kejadian pencekokan minuman keras tidak akan terjadi apabila pihak TSI dapat menjalani fungsi kontrol secara maksimal. "Padahal, sebagai lembaga konservasi, TSI harus ada kontrol, di mana pengunjung dilarang memberikan makanan ataupun minuman kepada satwa," ucap Iben.

Dari video yang viral di Instagram, Iben menjelaskan, terlihat bahwa TSI terlalu memberikan kebebasan kepada pengunjung, terutama dalam memberikan makanan. Tidak menutup kemungkinan, wortel, sayuran ataupun makanan lain yang diberikan mengandung racun dan membahayakan kesehatan satwa.

Untuk mengedukasi pengunjung, Iben melihat, imbauan berupa leaflet dan papan petunjuk tidaklah cukup. Dibutuhkan interpreter di dekat kandang satwa atau titik strategis yang didukung dengan kehadiran CCTV. Cara lain, mencegah pengunjung membawa barang-barang yang dapat membahayakan satwa sedari awal.

Misalnya saja di Pusat Primata Schmutzer. Sebelum masuk, pengunjung diperiksa terlebih dahulu apakah membawa makanan. Kalau ditemukan, barang itu harus dititipkan, tidak boleh dibawa ke dalam, ujar Iben memberikan contoh. Dengan adanya kasus ini, Iben berharap TSI tidak sekadar melaporkan, tapi juga melakukan evaluasi mendalam guna mencegah kasus serupa terjadi di kemudian hari.

Sementara itu, Dewan Penasehat Profauna Indonesia Herlina Agustin menuturkan TSI sebagai lembaga konservasi masih mengedepankan unsur hiburan dibandingkan edukasi. Dalam salah satu pembuatan izin TSI, ada izin membuat binatang sebagai hiburan. "Poin ini yang masih dikedepankan, padahal seharusnya juga ada edukasi. Tapi, sampai sekarang, edukasi masih menjadi nomer ke sekian," ucapnya.

Titin, sapaan akrab Herlina, menjelaskan, peristiwa di TSI beberapa waktu lalu sudah sepatutnya menjadi evaluasi bahwa harus ada jarak yang aman antara satwa dengan manusia. Jika satwa dibiasakan mendapat makanan dari manusia, mereka akan saling berebut dan memicu perilaku agresif, sesuatu yang tidak biasa ditemukan di habitat aslinya.

Evaluasi ini, disampaikan Titin, harus ditekankan oleh TSI. Sebab, tidak menutup kemungkinan sebelumnya sudah ada kejadian serupa namun tidak terekspos.

"Peristiwa kemarin kan yang kerekam. Mungkin saja ada yang nggak kerekam dan viral. Jadi, harus segera dicegah dari awal dengan melarang pengunjung memberi makan," ujar dosen komunikasi lingkungan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement