REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pertimbangan (Wantim) Majelis Ulama Indonesia (MUI) melaksanakan rapat pleno ke-17 di Kantor MUI pada Rabu (26/4). Dalam pleno, Dewan Pertimbangan MUI memesan kepada lembaga penegak hukum agar berhati-hati dan berhenti dari kecenderungan mempermainkan hukum.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, KH Didin Hafidhuddin mengatakan, sikap dan pandangan keagamaan MUI tentang kasus penistaan agama pada 11 Oktober 2016 diperkuat serta didukung Taushiyah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI pada 9 November 2016. Maka harus dilakukan penegakan hukum secara berkeadilan, transparan, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Ia mengungkapkan, Dewan Pertimbangan MUI tidak bermaksud mencampuri proses peradilan. Namun, proses peradilan atas kasus penistaan agama secara kasat mata telah menunjukan hal yang patut diduga adanya campur tangan lain. Campur tangan tersebut ditunjukkan dengan adanya penundaan penuntutan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Juga JPU yang cenderung membebaskan terdakwa.
"Maka Dewan Pertimbangan MUI menilai bahwa tuntutan itu telah mengusik rasa keadilan masyarakat, khususnya umat Islam," kata KH Didin saat membacakan Taushiyah Kebangsaan di Kantor MUI, Rabu (26/4) sore.
Ia menyampaikan, Dewan Pertimbangan MUI juga mengajak penyelenggara negara khususnya lembaga penegak hukum untuk bersungguh-sungguh dan secara konsisten serta konsekuen menegakkan hukum secara berkeadilan. Jika ada campur tangan pemerintah dalam proses penegakan hukum, menurutnya, hal tersebut akan berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) masyarakat luas pada penegak hukum.
Sikap itu juga akan membawa sikap ketidaktaatan (disobedience) rakyat terhadap hukum dan penegakan hukum. Jika ketidakadilan hukum terjadi, maka rakyat akan mudah bangkit dan bergerak untuk memprotes demi tegaknya kebenaran serta keadilan.
Kiai Didin menyampaikan, Dewan Pertimbangan MUI mengajak semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat khususnya umat berbagai agama untuk mengembangkan toleransi dan wawasan kebhinekaan sejati. "Yaitu budaya dan etika untuk tidak memasuki wilayah keyakinan pihak lain dan tidak mengganggu hal-hal suci yang dianut pihak lain, dalam rangka memelihara keamanan negara dan kerukunan bangsa," ujarnya.