Jumat 01 Feb 2019 19:21 WIB

Buni Yani Adukan Proses Hukumnya ke Pimpinan DPR

MA menyatakan Buni Yani bisa dieksekusi.

Rep: Arif Satrio Nugroho/Ronggo Astungkoro/ Red: Muhammad Hafil
Terpidana kasus UU ITE Buni Yani (kanan) tiba di Masjid Al Barkah, Jakarta, Jumat (1/2/2019).
Foto: Antara/Reno Esnir
Terpidana kasus UU ITE Buni Yani (kanan) tiba di Masjid Al Barkah, Jakarta, Jumat (1/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buni Yani mendatangi Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (1/2). Ia disambut oleh dua Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Kepada dua pimpinan wakil rakyat itu, Buni Yani menjelaskan kronologi perkara hukumnya, beserta sejumlah hal yang menurutnya janggal.

"Selama 2,5 tahun ini kami sudah menjalani proses hukum mulai pemeriksaan hingga seterusnya, saya sekalipun tak pernah mangkir," kata Buni Yani mengawali aduannya ke pimpinan DPR itu. Buni Yani menceritakan awal mula ia ditangkap polisi, persidangan, hingga Kasasi yang ia ajukan ditolak Mahkamah Agung (MA).

Buni pun menyebutkan sejumlah hal yang ia anggap janggal dan dipaksakan oleh penegak hukum. Menurut Buni, ia ditangkap dengan delik aduan pasal 27 ayat 3 pasal pencemaran nama baik ke Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dengan mengunggah video ucapan Ahok yang dianggap penistaan agama.

Saat menjalani pemeriksaan kepolisian, pasal 27 ayat 3 ternyata tidak dapat dibuktikan, karena Ahok terbukti terpidana menista agama. Namun, proses hukum Buni Yani tak berhenti. Pasalnya, polisi mengembangkan perkara ke Pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait ujaran kebencian di media sosial. Dengan pasal itu, berkas diajukan ke kejaksaan dan dinyatakan lengkap untuk persidangan.

Buni kembali bingung ketika dalam persidangan ia didakwa dengan pasal yang berbeda, yakni Pasal 32 ayat 1 UU ITE, tentang mengubah, menambah, mengurangi dan mentransmisikan dokumentasi elektronik. Dokumentasi yang dimaksud adalah video penistaan agama Ahok.

"Padahal saya belum sekali pun diperiksa di reskrimsus Polda Metro Jaya memggunakan pasal ini," ujar Buni Yani.

Atas pasal itu, Buni divonis 1 tahun 6 bulan penjara oleh PN Depok. Buni Yani pun tak terima dengan putusan tersebut. Ia bersama kuasa hukumnya mengajukan banding dan ditolak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Lalu, mengajukan Kasasi yang juga ditolak MA.

"Saya berksimpulan, jaksa itu betul-betul 'sudah pokonya harus bersalah ini orang', apapun fakta-fakta yang muncul di sana dia akan tetap mencari salah saya di mana," kata Buni Yani.

Buni Yani pun diminta 'menyerahkan diri' ke Kejaksaan Negeri Depok pada Jumat (1/2), untuk melaksanakan eksekusi putusan MA. Buni Yani sempat mengajukan upaya penangguhan penahanan, namun dotolak. Usai ia menceritakan proses hukum yang ia nilai janggal itu, ia pun bertolak dari gedung DPR RI bersama kuasa hukumnya. "Ke Kejari Depok," ujarnya saat ditanya hendak ke mana.

Kuasa Hukum Buni, Aldwin Rahadian menyatakan, pihaknya tetap akan terus melawan, yakni melalui upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK).

Sementara itu, Fahri Hamzah dan Fadli Zon kompak menarik perkara ini ke perkara politik. Keduanya menyebut, perlakuan hukum yang diterima Buni Yani diakibatkan posisi politik Buni Yani yang bersebrangan dengan pemerintah. Fahri menyesalkan UU ITE yang disahkan DPR, mamun akhirnya 'dipakai' untuk menjerat perkara seperti ini.

"Tahun 2016, kita bengang bengong aja tanda tangan ini ternyata punya implikasi luas sekali. Tapi ini sudah terjadi, begitulah hukum kalau teksnya bermasalah kita jadi korban," ujar dia.

Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Agung Andi Samsan Nganro, menyebutkan, di dalam putusan kasasi Buni Yani tak perlu dimuat perintah untuk dilakukan penahanan. Karena itu, pihak kejaksaan bisa langsung mengeksekusi Buni Yani.

"Saya baca di situ tidak dimuat perintah untuk ditahan. Jadi sebenarnya tidak perlu (dijelaskan lagi di dalam putusan kasasi)," ujar Agung di Gedung MA, Jakarta Pusat, Jumat (1/2).

Ia menjelaskan, putusan kasasi adalah upaya hukum biasa yang terakhir. Jadi, saat disampaikan kepada penuntut umum dan terdakwa, putusan itu sudah mengandung unsur eksekutorial karena tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan kecuali upaya luar biasa.

"Inkrahnya suatu putusan adalah sampai kasasi. Dengan diberitahukan kepada pihak-pihak itu, berarti sudah mengandung nilai eksekutorial. Artinya, sudah bisa dilaksanakan eksekutor, dalam hal ini jaksa," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement