Senin 30 May 2016 06:55 WIB

Hukum Kebiri Dianggap Bentuk Penyiksaan

Kebiri kimia (ilustrasi)
Foto: al arabiya
Kebiri kimia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga kajian hukum Institute for Criminal Justice Reform mempersoalkan kebijakan kebiri kimia yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak karena dianggap masih bermasalah dan patut dipertanyakan.

Dalam Pasal 81A ayat (1) Perppu Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak itu, disebutkan bahwa tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik "dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok".

"Kalaupun suntikan dilakukan selama dua tahun setelah pidana pokok, lalu bagaimana apabila pidana pokok adalah pidana mati atau seumur hidup?" kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono dalam keterangan tertulis, Senin (30/5).

Selain itu, katanya, kebiri kimiawi seharusnya dilaksanakan dengan sukarela seperti yang dilakukan di Inggris, bukan ditempatkan sebagai tindakan yang dijatuhkan sebagai pilihan oleh hakim. ICJR memandang pemaksaan seperti itu akan mengakibatkan penyiksaan dan membuka jalan untuk melakukan balas dendam.

Lembaga yang dipimpinya mempertanyakan bentuk rehabilitasi yang tercantum dalam Pasal 81 ayat (3) Perppu Perlindungan Anak yang menyatakan "pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi".

"Sebagai pendekatan paling rasional dalam konteks pedofil, yang direkomendasi oleh banyak pihak termasuk dokter, rehabilitasi ini tidak dijelaskan seperti apa di dalam perppu," ujar Supriyadi.

Adanya pidana mati dalam perppu juga disayangkan oleh ICJR karena dianggap mengkhianati tujuan rehabilitasi, sebab tidak akan ada kesempatan kedua bagi terpidana mati.

ICJR memandang hukuman mati sebagai bentuk jalan instan dari pemerintah dan tidak menunjukkan penanganan komprehensif atas kekerasan seksual terhadap anak.

"Klaim pemerintah yang menyatakan mendapat dukungan pidana mati, menunjukkan bahwa masyarakat sedang tidak percaya pada penanganan kekerasan seksual yang selama ini dijalankan pemerintah," kata Supriyadi.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement