Senin 04 Apr 2016 04:35 WIB

Desakan Cabut Perpres Nomor 51/2014, Pemerintah Diminta tak Gegabah

Teluk Benoa
Foto: kaskus.co.id
Teluk Benoa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketegasan sikap pemerintah dalam membuat kebijakan menjadi hal yang penting dalam menjalankan roda pemerintahan, termasuk ketegasan untuk tidak mudah didesak mencabut Peraturan Presiden (Perpres) No.51/2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita. 

Hadirnya Perpres ini menggantikan Perpres sebelumnya No. 45/2011 yang mengubah status kawasan teluk Benoa menjadi bukan kawasan konservasi perairan. Hal ini sangat beralasan, hadirnya Perpres tersebut menjadi payung hukum dalam pemanfaatan dan revitalisasi teluk Benoa yang saat ini keberadaanya jauh dari kata layak

Aktivis lingkungan Bali yang juga pengamat pesisir, I Made Mangku mengatakan, sikap ketegasan pemerintah untuk tetap mempertahankan Perpres No.51/2014 menjadi tantangan di tengah konflik pro dan kontra revitalisasi reklamasi teluk Benoa. “Pemerintah harus memperhatikan hasil kajian amdal dalam memutuskan kebijakan dan bukan berdasarkan penolakan yang tanpa dasar hukum dan kajian ilmiah yang matang.” katanya, dalam siaran pers, Ahad (3/4).

Menurutnya, bila pemerintah mudah mengambil sikap untuk mengubah Perpres tersebut karena desakan atas sebagian kecil golongan masyarakat yang mengatasnamakan masyarakat Bali, tentunya sangat disayangkan. Pasalnya, hal ini akan menjadi preseden buruk bagi setiap keputusan kebijakan pemerintah yang akan mudah digoyang.

Bagaimanapun juga, dirinya meyakini, pemerintah tidak akan mengambil keputusan yang gegabah untuk mengubah Pepres No.51/2014. Karena mengubah Pepres sendiri, lanjutnya, bukanlah pekerjaan mudah tanpa ada cacat hukumnya. Terlebih, rencana revitalisasi reklamasi teluk Benoa sudah dijalankan melalui prosedur dan aturan yang berlaku dengan analisis dampak lingkungan (amdal) yang terdiri dari 182 item. Ironisnya, hal ini bertolak belakang dengan masyarakat yang kontra revitalisasi teluk Benoa (RTB) yang hanya mampu menampilkan argumentasi amdalnya hanya satu item dan tidak berdasarkan basic akademik serta tidak komprehensif.

Oleh karena itu, dirinya meminta pemerintah untuk tidak mudah didesak mengubah Perpres No.51/2014 tanpa ada kajian akademis yang matang, tetapi hanya berdasarkan “pokoknya harus tolak RTB.” Bahkan dia menuding, di balik derasnya penolakan RTB ini tidak bisa lepas dari konspirasi barisan golongan orang sakit hati para pelaku usaha akan persaingan bisnis sektor pariwisata bila RTB ini jadi dilakukan. “Saya menduga ada konflik persaingan bisnis, disamping kepentingan politik dibalik derasnya penolakan RTB yang sudah berlangsung selama 3,5 tahun,” tuturnya.

Pendangkalan dan Sedimentasi Teluk Benoa

Kemudian berbicara soal revitalisasi dan reklamasi teluk Benoa bakal merusak ekosistem alam bawah laut, kata I Made Mangku, hal tersebut tidak mendasar atas kajian akademik. Dirinya menjelaskan, teluk Benoa saat ini sudah terjadi pendangkalan yang amat sangat dan sedimentasi sudah hampir menyentuh pesisir mangrove,  dimana endapan lumpur rata-rata mencapai 16 meter dan kemudian terjadi luberan sampah di mana-mana akibat sumbatan DAS (daerah aliran sungai).

Dengan kondisi seperti di atas, otomatis tidak ada biota laut, seperti ikan, karang, udang dan lainnya yang ditangkap nelayan di teluk saat laut surut. “Adanya Perpres No.51/2014 justru tepat karena memungkinkan proses revitalisasi kawasan perairan pesisir teluk Benoa menjadi zona penyangga yang dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat Bali,” ujar Mangku

Hal senada juga disampaikan tokoh masyarakat Tanjung Benoa, Kabupaten Badung, Wayan Ranten, di teluk Benoa tidak ada lagi ekosistem bawah laut dan yang ada hanya pencemaran limbah dan sampai yang datang dari hulu ke hilir. “Kalau sudah tidak ada ekosistem bawah laut, buat apalagi dipertahankan dan seharusnya bisa dioptimalkan untuk kepentingan warga setempat,” jelasnya.

Baginya, RTB sendiri banyak memberikan banyak manfaat dari sisi ekonomi berupa penyerapan tenaga kerja dan termasuk menciptakan destinasi wisata baru yang lebih produktif. Terlebih dalam masterplan RTB sendiri akan memberikan ruang terbuka hijau 60% dari pemanfaatan lahan seluas 700 hektar.

Karena itu, dirinya meminta pemerintah pusat untuk segera menentukan sikap dengan menyetujui RTB  berdasarkan hasil kajian amdal yang sudah dijalankan melalui proses yang panjang. “Presiden jangan terlalu lama memutuskan nasib RTB, kasian kami warga di Bali yang banyak sengsaranya,” keluhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement