REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membangun sistem koordinasi bernama "Pojok Iklim" sebagai langkah pertama mencegah kebakaran hutan sejak dini.
Pojok iklim secara sederhana merupakan forum diskusi multi sektoral dan menjadi wadah diskusi antarstakeholder hutan. Mereka di antaranya KLHK, para pelaku usaha serta akademisi.
Pojok Iklim diharapkan mampu melahirkan aksi-aksi nyata memperbaiki dan memberi kontribusi positif dalam menekan dampak negatif perubahan iklim di Indonesia.
"Secara khusus pojok iklim membahas tentang kebakaran hutan dan lahan serta penanganan penanggulangan yang telah dilakukan hingga saat ini," kata Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Raffles Brotestes Panjaitan, Jumat (1/4).
Ia melanjutkan, terlebih kebakaran hutan dan lahan memang menjadi salah satu penyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK) khususnya dari lahan gambut. Upaya koordinasi melalui Pojok Iklim penting.
Misalnya, untuk memutuskan siapa sebenarnya pihak yang berhak mengeluarkan jumlah titik panas. Sehingga antisipasi penanggulangannya juga bisa segera dilakukan bila kita mendapati memang terdapat titik api di suatu daerah.
Pada 2015, Indonesia, KLHK telah berhasil memadamkan 11.240 hektare kebakaran lahan dan hutan. Berdasarkan estimasi KLHK, peristiwa tersebut berdampak pada pelepasan 1,1 giga ton CO2 eqivalen ke udara. Dengan koordinasi yang baik, hasil yang memuaskan muncul di 2016.
"Berdasarkan pantauan satelit NOAA18, ada penurunan jumlah kebakaran hutan dan lahan yang terjadi dari Januari-Maret 2016, dibandingkan pada bulan yang sama di 2015," ujarnya.
Pada Februari 2015, misalnya, hasil pantauan satelit NOAA mencatat ada 518 titik api, sementara tahun ini hanya 166 titik api.
Menegaskan koordinasi berbasis teknologi, KLHK juga tengah mengembangkan aplikasi yang bisa diunduh oleh petugas pemantau kebakaran hutan dan lahan di daerah melalui telepon genggam (smartphone) masing-masing. Aplikasi tersebut memberi informasi secara langsung lokasi-lokasi dan kordinat daerah dengan titik panas yang tinggi.
Bila setelah pemantauan lapangan petugas mendapati bahwa titik panas tersebut tidak berpotensi menjadi titik api, maka laporan tersebut dapat langsung dihapus. Secara langsung sistem akan membaca penghapusan informasi tersebut sebagai laporan bahwa titik tersebut aman dari kebakaran.
Pakar Lingkungan dan Kehutanan dari Institut Teknologi Bandung Indroyono Soesilo menerangkan, kalangan akademisi tengah mengembangkan alat berbentuk drone dan pesawat tanpa awak sebagai perangkat pemadam kebakaran hutan. Pesawat dilengkapi kamera untuk memantau dan mencitrakan gambar serta kordinat kebakaran huta secara langsung.
"Teknologi ini dapat memantau api di tempat yang sangat susah di jagkau," katanya.
Ia dengan ketinggian 400-500 meter di atas permukaan tanah. Alat tersebut merupakan produk asli Indonesia dan telah banyak digunakan untuk pemetaan lahan tambang.