Ahad 24 Jan 2016 17:10 WIB

Seni Budaya Badud Pangandaran, Hiburan Rakyat yang Semakin Tergerus Masa

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Friska Yolanda
Topeng Badud
Foto: Fuji EP/Republika
Topeng Badud

REPUBLIKA.CO.ID, Kesenian Badud lahir di sebuah dusun terpencil di Kabupaten Pangandaran. Masyarakat di sana meyakini, kesenian Badud lahir pada 1868 di Dusun Margajaya, Desa Margacinta, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran. Saat inin Dusun Margajaya dikenal dengan sebutan Kampung Badud.

Seorang mantan dalang Badud Abah Karsodi (81 tahun) mengatakan, kesenian Badud awalnya hanya sebuah hiburan rakyat. Badud dimainkan saat ada warga yang mengelar acara syukuran. Seperti, hajat syukuran pernikahan, sunatan, pascapanen, dan sebelum menanam.

Namun, kata Abah Karsodi, kesenian Badud juga kerap di mainkan di hari-hari besar seperti memperingati hari kemerdekaan. “Tujuannya untuk hiburan rakyat semata,” kata Abah Karsodi kepada Republika.co.id, pekan lalu.

Kini, kesenian Badud dari Kampung Badud sudah melanglang buana. Mereka pernah beberapa kali tampil di Jakarta, Bandung, dan beberapa kota lainnya. Namun, kesenian Badud ini semakin kurang diminati karena dianggap kalah menarik oleh kesenian dan jenis hiburan yang berbau modern.

Kesenian badud membutuhkan 20 orang pemain dalam sekali pentas dan semua pemainnya laki-laki. Di antaranya, empat pemain utama yang membawa alat musik badud (dogdog). Keempat pemain utama ini tampil paling pertama.

Keempat pemain ini disebut dalang, sendul, onyon, dan engkelek. Dalang membawa alat musik badud paling besar di antara yang lainnya. Sendul membawa alat musik Badud yang sedikit lebih kecil. Kemudian onyon dan engkelek membawa alat musik Badud yang lebih kecil lagi.

Keempat pemain utama ini akan membacakan wawangsalan atau lebih dikenal nyanyian rakyat yang lebih mirip pantun. Mereka juga akan berperan sebagai sosok yang lucu dan menghibur.

Setelah empat pemain utama cukup tampil dan menghibur, datanglah dua pemain yang memerankan sosok kakek dan nenek. Mereka menggunakan topeng kakek dan nenek tua. Dua karakter ini biasanya merefleksikan kakek dan nenek yang sedang menanam padi dan mengusir hama. Dialog dan olah gerak karakter ini juga akan membuat penonton terhibur dan tertawa.

Setelah penampilan kakek dan nenek, mulai bermunculan sosok-sosok hewan yang ada di hutan. Satu persatu muncul sosok harimau, lutung, anjing, babi hutan, kuda dan lain sebagainya. Tapi, yang kerap ditampilkan biasanya empat sampai lima jenis hewan saja.

Orang yang memerankan sosok hewan-hewan yang hidup di hutan ini menggunakan topeng dan kostum layaknya hewan sungguhan. Mereka menari meniru gerakan hewan yang mereka perankan. 

Menurut Abah Karsodi, pemainnya sadar, tapi di waktu-waktu tertentu, terkadang kerasukan sehingga lebih mirip hewan sungguhan saat tampil. Itulah sebabnya, ada satu orang pemain yang berperan sebagai pawang dari hewan-hewan tersebut. Bahkan, ada orang yang berperan sebagai kuda hampir mirip dengan kuda lumping. Sementara, sisa pemainnya menabuh angklung sebagai musik pengiringnya.

Haer (60) yang kini menjadi dalang Badud menggantian Abah Karsodi mengatakan, pagelaran seni tradisional Badud tidak dimainkan di atas panggung. Tapi dimainkan di lapangan terbuka dan sejajar dengan penonton.

Kesenian badud ini benar-benar mencerminkan kesenian dan hiburan rakyat, bukan kesenian yang lahir dari keraton dan hanya dinikmati para menak zaman dulu. Hal inilah yang menjadi unik dan patut dikaji serta dilestarikan keberadaannya.

Kendati para pemain badud saat ini tidak tahu filosofi dari kesenian badud karena mereka hanya megaggap hiburan semata. Namun, pasti ada hal lain yang ingin disampaikan pencipta kesenian ini. Sebab, seni lahir dari cipta, budi, rasa dan karya. Sudah barang pasti lahirnya seni membawa nilai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement