REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam upaya melakukan penertiban dan mengamankan penerimaan keuangan negara lewat pajak dan bea cukai, Kementerian Keuangan telah melakukan kerjasama dengan Badan Intelijen Negara (BIN).
Kerjasama ini tertuang dalam nota kesepahaman yang ditandatangani Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dengan Kepala BIN Sutiyoso.
Lewat kerjasama ini, BIN diharapkan mampu membantu menelisik sumber-sumber penerimaan pajak yang belum terjangkau dan atau terdeteksi oleh Kemenkeu.
Tidak hanya itu, BIN juga dinilai untuk bisa membantu Dirjen Pajak untuk menagih piutang pajak. Namun, terkait kerjasama ini, BIN dianggap harus menyiapkan SDM yang mumpuni dan memiliki komptensi. BIN jangan hanya melakukan distribusi dan hanya menampung alih status dari instansi lain, seperti TNI dan Polri.
''Dibanding persoalan ideologi, politik, sosial, budaya, maupun keamanan, persoalan ekonomi dan bea cukai itu begitu teknis dan sensitif. Tersedia dan mampukan personil BIN di daerah melakukannya?,'' ujar pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, Kamis (26/11).
Tidak hanya itu, dalam pencarian informasi, BIN memang memiliki kewenangan penyadapan dan penelusuran data. Namun, kewenangan ini harus digunakan secara proporsional.
Hal ini untuk memastikan tidak ada celah bagi penyalahgunaan ataupun penggunaan kewenangan yang berlebihan. Penyalahgunaan kewenangan ini tentu akan merugikan warga negara dan perlindungan terhadap nasabah.
''Aturan mainnya perlu dicermati publik, untuk memastikan tidak ada celah bagi penyalahgunaan maupun penggunaan yang berlebihan yang bisa merugikan warganegara atau bahkan mengarah pada pelanggaran HAM dan perlindungan nasabah,'' katanya.
Sementara, terkait penagihan piutang pajang. BIN bukan debt collector dan tidak boleh digunakan untuk itu. Kehadiran BIN dalam kerja penegakan hukum pajak dan bea cukai, lanjut Khairul, harusnya berada ruang lingkup intelijen negara, yaitu menyajikan produk informasi.