Senin 02 Feb 2015 21:36 WIB

Soal KPK-Polri, Jokowi Diminta tak Terpengaruh Pemikiran 'Sesat'

  Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wapres Jusuf Kalla (kanan) di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (23/1).   (Antara/Widodo S. Jusuf)
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wapres Jusuf Kalla (kanan) di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (23/1). (Antara/Widodo S. Jusuf)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Jokowi diminta tidak terpengaruh terhadap pernyataan-pernyataan 'sesat' yang dilontarkan berbagai kalangan ataupun 'pembisiknya' di lingkungan Istana, terkait kisruh yang sedang melanda KPK dan Polri.

Menurut Direktur Eksekutif Jokowi Watch Tigor Doris Sitorus, keributan semipolitik antara Polri-KPK tersebut karena individual top pimpinan Polri-KPK. Namun, saling membawa institusinya masing-masing.

"Maka di dalam keributan ini pun Jokowi tidak perlu harus turun tangan. Sebab, aturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses hukum sumber keributan itu yakni pelekatan status tersangka sudah ada," kata dia kepada wartawan di Jakarta Senin (2/2).

Seorang presiden menurut Tigor, bisa disebut berada dalam posisi yang benar dari sisi konstitusi jika tidak dengan mudah terpengaruh oleh opini-opini apapun dan dari manapun. "Kami minta Jokowi tidak mudah terpengaruh oleh opini pihak manapun terkait kisruh KPK-Polri. Bahkan, kalaupun opini itu seakan-akan sudah menjadi benar adanya presiden harus berpenderian teguh," tuturnya.

Ia berkata, hiruk pikuk antara Polri dengan KPK dipicu saat calon kapolri Komjen Pol Budi Gunawan (BG), ditetapkan tersangka oleh KPK atas dugaan rekening gendut. Dimana, saat hampir bersamaan BG sedang menjalani fit and proper test di DPR RI.

Mabes Polri 'membalas' dengan menetapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka atas dugaan mempengaruhi saksi saat sidang di Mahkamah Konstotusi (MK) terkait Pilkada Kota Waringin Barat tahun 2010.

Tigor mengatakan, kisruh KPK-Polri hampir mirip saat kisruh saling sikut antar partai politik Koaliasi Merah Putih (KMP) dan Koaliasi Indonesia Hebat (KIH) di DPR RI kala itu. "Keributan politik terbesar di Indonesia itu awalnya terlihat seperti keributan didalam suatu institusi negara. Padahal sesungguhnya keributan itu terkait hanya soal rebutan pengaruh untuk mendapatkan posisi kunci di DPR RI," kata dia.

Bahkan menurut Tigor, kisruh di DPR itu sekarang sudah berlalu tanpa sedikitpun sentuhan politik dari presiden Jokowi. Meskipun saat itu tekanan publik dan politik yang mendorong-dorong agar Jokowi segera melerai keributan tersebut sangat luar biasa.

"Ternyata tanpa campur tangan dari Jokowi, keributan itu berhenti sendiri. Nyata sudah bahwa pilihan Jokowi yang tidak sesuai desakan-desakan yang mengatas-namakan demokrasi itu benar adanya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement