REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2013 Kementerian ESDM untuk tersangka mantan Ketua Komisi VII Sutan Bhatoegana.
"Saya dipanggil KPK dalam rangka sebagai saksi untuk kasusnya Pak Sutan Bhatoegana," kata Jero saat tiba di gedung KPK Jakarta sekitar pukul 10.33 WIB, Kamis (20/11).
Jero diantarkan mobil Nissan Grand Livina silver B 1877 NC, namun ia tidak menerangkan mengenai isi pemeriksaannya tersebut.
"Nanti saya terangkan ya, sekarang saya diperiksa dulu," tambah Jero singkat.
Selain Jero, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan dua mantan anggota Komisi VII bidang energi dari fraksi Partai Demokrat dalam kasus ini yaitu Natassya Tara dan Siti Romlah.
Kemarin KPK juga seharusnya memeriksa tiga mantan anggota Komisi VII bidang energi dari fraksi Partai Demokrat yaitu Efi Susilowati, I Wayan Gunastra dan Tri Yulianto, namun ketiganya tidak memenuhi panggilan. Tri Yulianto bahkan mangkir dari pemanggilan untuk kedua kalinya.
Pada Senin (17/11), KPK sudah memeriksa Sutan Bhatoegana, namun tidak menahan mantan Ketua Komisi VII tersebut. Sutan mengaku ia ditanya soal penganggaran selama menjadi anggota DPR.
"Enggak, tentang itu saja, proses penganggaran," kata Sutan seusai diperiksa selama 11 jam pada Senin (17/11).
Sutan diduga melanggar melanggar pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12 B Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, dengan ancaman pidana paling lama 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.