Senin 25 Nov 2013 15:40 WIB

Pakai UU Lama, Pilpres Tak Akan Hasilkan Pemimpin Berkapabilitas

Rep: Ira Sasmita/ Red: Mansyur Faqih
Peneliti Ilmu Politik LIPI Syamsuddin Haris
Peneliti Ilmu Politik LIPI Syamsuddin Haris

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilu 2014 diperkirakan tak akan menghasilkan pemimpin dengan kapabilitas tinggi. Karena skema pemilu yang digunakan masih sama dengan periode sebelumnya. 

UU Nomor 48/2008 tentang pilpres dinilai masih memberi cek kosong kepada partai untuk menentukan capres masing-masing. Penetapan capres berlangsung secara oligarkis oleh segelintir elite parpol.

"Seolah-olah membenarkan posisi sebagai ketum atau pimpinan partai merupakan tiket untuk menjadi capres," kata Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris di Jakarta, Senin (25/11).

Golkar, menurutnya, merupakan institusi yang telah mempraktikkannya. Aburizal Bakrie (Ical) sebagai ketua umum partai kemudian ditetapkan sebagai capres. Namun, resistensi dalam tubuh partai terutama DPD tingak II dinilai masih tinggi. "Karena pencalonan Ical itu tidak muncul dari bawah tapi muncul dari DPP," ujarnya.

Ia mengatakan, kajian yang dilakukan LIPI secara umum menunjukkan sistem presidensial pada pemilu 2004 dan 2009 relatif stabil, namun belum efektif. Kebijakan presiden kerap terpenjara oleh DPR. 

Selain itu, tingkat produktivitas pemerintah dan DPR sangat rendah. Terlihat dari belum adanya strategi kebijakan yang dapat mengatasi krisis pangan dan energi. Sehingga Indonesia terus-terusan bergantung pada impor. 

"Produktivitas DPR juga rendah, dari kuantitas RUU Prolegnas yang dapat diselesaikan di bawah 40 persen. Kualitas undang-undang juga banyak digugat ke Mahkamah Konstitusi," kata dia.

Upaya memperkuat sistem presidensial, lanjut Syamsuddin, juga tidak didukung parpol di DPR. Inkonsistensi terlihat dalam perluasan otoritas DPR dan pelembagaan sistem perwakilan dan keparlemenan yang rancu. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak memiliki otoritas legislasi, sementara MPR menjadi kamar ketiga parlemen nasional.

Dalam skema pemilu, menurutnya, juga terjadi inkonsistensi. Sejak pemilu 2004, penyelenggaraan pemilu legislatif mendahului pemilu presiden. Padahal konstitusi berorientasi pelembagaan presidensial.

"Akibatnya parpol bergantung pada hasil pileg dalam pencalonan presiden dan wakil. Padahal lembaga parlemen dan institusi kepresidenan adalah dua institusi yang terpisah dan tidak tergantung satu sama lain," ujarnya.

Ketergantungan terhadap hasil pileg itu, kata dia, semakin dilembagakan dengan ketentuan ambang batas perolehan kursi di parlemen sebanyak 20 persen. Atau ambang batas suara nasional sebanyak 25 persen. "Itu anomali dan tidak lazim digunakan oleh negara yang menganut sistem presidensial," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement