Selasa 24 Sep 2013 21:27 WIB

Indonesia Dinilai Terjebak Dalam Demokrasi Kultus

Yunarto Wijaya (berbicara)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Yunarto Wijaya (berbicara)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Budaya demokrasi di Indonesia setelah reformasi pada 1998 masih saja "mendewakan" tokoh-tokoh partai atau demokrasi kultus, tanpa mementingkan rasionalitas pendidikan politik, kata pengamat politik Yunarto Wijaya.

"Kita masih terjebak dalam budaya demokrasi pop atau demokrasi kultus. Ketika orang-orang bertanya, siapa Gerindra, siapa PDI-P, hanya tercetus nama Prabowo, Megawati tanpa subtansi kemajuan politik itu," kata Yunarto setelah jumpa pers perbincangan politik pada media sosial yang diselenggarakan Politicawave di Jakarta pada Selasa (24/9).

Dengan demikian, menurut Yunarto, tak heran kaderisasi figur politik di Indonesia terkesan "mandek", karena proses untuk regenerasi itu dilakukan partai dengan sambil lalu. Proses regenerasi dalam demokrasi yang miskin substansi itu, kata Yunarto, melahirkan figur-figur partai yang berada pada lingkup jajaran atas dan terkemuka politik saja, "Sesedarhana itulah, demokrasi kita melahirkan figur-figur partai," ujarnya.

Yunarto menjelaskan demokrasi kultus ini juga yang menyebabkan banyaknya "swing" voters dalam beberapa kali pemilihan umum, dan pemilihan tingkat daerah. Banyaknya "swing" voters ini menunjukkan minimnya interaksi partai politik dengan masyarakat, kata dia.

"Dalam sebuah hasil studi, terlihat sejak 1998, interaksi parpol dengan masyarakat hanya di kisaran 16 persen, paling tinggi hanya mencapai 30 persen saja," jelasnya. Realitas demokrasi dan politik seperti itu pula, kata Yunarto, yang membawa pemberitaan politik di Indonesia terkesan serupa dengan pemberitaan "infotainment".

Hal ini, ujar dia, menunjukkan pula, bagaimana peran pentingnya media dalam membingkai pemberitaan politik, yang seharusnya tidak hanya mengedepankan sisi sensasionalnya saja, namun yang lebih substansial. "Begitu juga dengan peran media sosial. Sebenarnya figur politik jangan hanya terlena dengan medium pemberitaan media, namun lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat, bukan menganggap diri mereka sendiri sebagai iklan," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement