REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai menilai belum ada indikator Anas Urbaningrum menjadi 'justice collabolator' dalam kasus Hambalang karena syarat yang harus dipenuhi sangat berat.
"Apakah dia bisa jadi justice collabolator atau tidak, kami belum tahu karena belum ada indikator yang mengarah kesitu," kata Abdul Haris di Jakarta, Selasa (26/2).
Abdul Haris menjelaskan berdasarkan pernyataan Anas di media, yang bersangkutan tidak mengakui bersalah dalam kasus itu. Salah satu syarat menjadi JC, kata Abdul Haris, adalah mengakui kesalahan terkait kasus yang menjeratnya.
"Tapi jika kita lihat Anas sendiri dalam kasus Hambalang, dia mengatakan tidak bersalah dan sepeserpun tidak menerima sesuatu dari proyek itu," ujarnya.
Menurutnya, Anas tidak mudah menjadi 'justice collabolator' dalam kasus dugaan korupsi sport center Hambalang.
"Untuk menjadi justice collabolator dalam kasus Hambalang, Anas tidak mudah karena semua persyaratan sulit dipenuhinya," sebut dia.
Abdul Haris menjelaskan syarat menjadi JC adalah seorang pelaku yang mau bekerja sama dengan penegak hukum membongkar pelaku lain yang lebih besar.
Selain itu Anas harus memiliki informasi lain yang penting untuk membongkar keterlibatan berbagai pihak. Dikatakan Abdul Haris, seorang JC juga harus memiliki informasi mengenai aset-aset kejahatan yang disembunyikan dan dikembalikan dari hasil kejahatan.
"Dia juga bukan pelaku utama. Dan jika kita lihat posisi Anas dalam kasus itu, keliatannya dia tidak mau jadi justice collabolator," katanya.
KPK menetapkan Anas sebagai tersangka kasus proyek Hambalang. Status itu membuat Anas meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
"Gelar perkara yang dilakukan beberapa kali dan hari ini dugaan penerimaan hadiah atau janji berkenaan dengan pembangungan Hambalang dan atau proyek lainnya dan menetapkan AU sebagai tersangka," kata juru bicara KPK, Johan Budi.
Menurut Johan, Anas telah melanggar tindak pidana korupsi dalam kaitannya sebagai anggota DPR RI sebelum menjadi Ketum Partai Demokrat. Selain itu, kata Johan, penetapan Anas ini telah melalui gelar perkara (ekspose) yang dilakukan lima pimpinan KPK, dan disetujui semua pimpinan serta ditandatangani Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto.
KPK menjerat Anas dengan Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.