Selasa 29 May 2012 19:45 WIB

ICW: Korupsi di Kehutanan Kalbar Rugikan Negara Rp120 Triliun Lebih

Perambahan hutan
Perambahan hutan

REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK- Indonesia Corruption Watch mendesak penanganan kasus dugaan korupsi sektor kehutanan di Provinsi Kalimantan Barat. Kasus tersebut diperkirakan merugikan negara hingga mencapai Rp121,4 triliun.

"Laporan Kementerian Kehutanan pada Agustus 2011 menyebutkan, dugaan korupsi izin pelepasan kawasan hutan di Kalimantan diprediksi merugikan negara hampir Rp321 triliun," kata Koordinator Divisi Hukum ICW, Emerson Yuntho di Pontianak, Selasa (29/5).

Berdasarkan data tersebut, dari jumlah kerugian negara yang terjadi, Kalimantan Tengah (Kalteng) yang terbesar yaitu Rp158 triliun. Kemudian diikuti Kalbar Rp121,4 triliun; Kaltim Rp31,5 triliun dan Kalsel Rp9,6 triliun.

Menurut dia, upaya untuk menjerat pelaku kejahatan kehutanan yang merugikan keuangan negara tersebut dapat dipastikan tidak akan efektif jika dijerat dengan UU Kehutanan.

"Karena jika pendekatan penegakan hukum masih terpaku pada penggunaan UU Kehutanan, hampir bisa dipastikan kejahatan di sektor kehutanan, khususnya alih fungsi hutan sulit diungkap," kata Emerson Yuntho.

Ia menambahkan, untuk kejahatan seperti penebangan kayu secara liar, kemungkinan aktor utama terungkap pun kecil jika menggunakan regulasi standar di sektor kehutanan tersebut.

"UU Kehutanan rentan diarahkan pada sekadar pertanggungjawaban administratif. Sehingga tak jarang pelaku atau cukong dalam praktik kejahatan kehutanan bisa lepas atau bebas dari jerat hukum," ujar dia.

Ia menilai, UU Kehutanan kurang efektif karena tidak ada definisi dari penebangan liar serta tanpa sanksi pidana minimum dan tidak menjangkau kejahatan korporasi. "Pelaku yang bisa dipidana hanya yang tertangkap tangan. Kalaupun diproses, banyak yang dibebaskan atau dihukum ringan," katanya menegaskan.

Ia menjelaskan, salah satu upaya alternatif untuk menjerat pelaku adalah dengan menerapkan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Ketentuan dalam regulasi antikorupsi seperti merugikan keuangan negara, suap menyuap, gratifikasi, dapat digunakan menjerat pelaku di sektor kehutanan dan perkebunan. Penyelewenangan itu, ujar Emerson terjadi mulai dari proses perizinan hingga pengangkutan dan pungutan hasil hutan.

UU Tipikor juga dapat menjerat individu dan koorporasi, dapat dilakukan penyitaan, optimalisasi "asset recovery" melalui denda dan uang pengganti dan dapat menjerat pihak yang berupaya menghalangi proses pemeriksaan.

Komisi Pemberantasan Korupsi hingga saat ini menangani enam kasus korupsi di sektor kehutanan. Tercatat 21 orang pelaku telah diproses, diadili dan divonis oleh pengadilan tipikor. Mayoritas telah menjalani pidana penjara di lembaga pemasyarakatan.

"Mereka terdiri dari 13 orang dari lingkungan eksekutif (mantan kepala daerah, pejabat dinas/kementrian kehutanan atau dinas kehutanan provinsi), 6 orang dari politisi/legislatif dan 2 orang dari pihak swata," ungkap dia.

Selain UU Tipikor, pelaku juga dapat dijerat dengan UU Pencucian Uang. Ada empat kelebihan apabila gabungan UU Tipikor dan UU Pencucian Uang diterapkan dalam pemberantasan kejahatan di sektor kehutanan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement