REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pelaksanaan otonomi daerah meski sudah berjalan 12 tahun, hingga kini masih dihadapkan pada berbagai masalah strategis, dari masalah daerah pemekaran berkinerja buruk hingga persoalan pengelolaan sumber daya alam lokal.
"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengkritik daerah-daerah pemekaran yang kinerjanya buruk. Namun, sampai akhir 2011 masih tercatat 112 usul daerah otonom baru," kata Isran Noor, Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), dalam diskusi panel "Refleksi 11 Tahun Otonomi Daerah" di Jakarta, Kamis.
Panel diskusi tersebut diselenggarakan sebagai bagian dari acara Otonomi Expo & Forum 2012 yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) mulai 24 hingga 27 Mei 2012. Sebanyak 164 pemerintah kabupaten turut ambil bagian dalam Expo tahun ini.
Isran menggarisbawahi dalam kurun waktu 10 tahun, 1999--2009, tercatat 164 kabupaten baru terbentuk. Jumlah kecamatan bertambah 19 persen, kelurahan 35 persen, dan desa 14 persen. Namun, tidak sedikit daerah pemekaran yang kinerjanya ternyata buruk sebagaimana yang telah mengundang kritik Kepala Negara beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan masalah pertama ialah ada daerah pemekaran. Namun, dengan kinerja tak memadai sehingga berpengaruh terhadap pelayanan publik, serta menjadi kendala upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
"Untuk itu, harus ada kebijakan tegas untuk mencabut status kabupaten atau kota yang dinilai tak mampu menyelenggarakan otonomi daerah," katanya. Isran memandang perlu adanya evaluasi regular atas kemampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah.
Masalah strategis kedua, menurut Isran, ialah menyangkut adanya perundang-undangan yang mereduksi kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pengelolaan sumber daya alam, seperti muatan beberapa pasal dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Arah resentralisasi di sini bertentangan dengan jiwa Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945.
Masalah ketiga, lanjut dia, timbul akibat masih diberlakukannya ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.