Sabtu 10 Jun 2023 21:56 WIB

Berikut Data dan Fakta Depok Versus Solo, Lebih Maju Mana?

Tingkat kemiskinan di Solo mencapai 9,4 persen, sementara di Depok 2,53 persen.

Rep: Erik PP/Alkhaledi Kurnialam/ Red: Erik Purnama Putra
Pengendara motor berhenti di dekat baliho bergambar putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep yang dipasang PSI di Jalan Margonda Raya, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (23/5/2023).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengendara motor berhenti di dekat baliho bergambar putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep yang dipasang PSI di Jalan Margonda Raya, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (23/5/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Relawan dan politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kerap menyebut, Kota Depok sebagai wilayah tertinggal. Hal itu lantaran Depok selama ini, dikuasai politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang selalu memang setiap empat kali perhelatan pemilihan wali kota (pilwakot).

Alhasil, PSI dan para relawan tergerak untuk mengusung Kaesang Pangerap untuk memimpin Kota Depok pada 2024. Kaesang yang merupakan putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) digadang-gadang bisa mengubah Depok menjadi lebih maju. Benarkah Depok memang tertinggal. Republika.co.id mencoba membandingkan pembangunan Kota Depok dengan Solo, asal Presiden Jokowi dan Kaesang.

Baca: Kaesang Pastikan Maju Pilkada Depok, Puan: Ayok Masuk PDIP!

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), indeks pembangunan manusia (IPM) Kota Depok termasuk yang tertinggi di Provinsi Jawa Barat (Jabar). Pada 2021, IPM Kota Depok di angka 81,86 dan pada 2022 menjadi 81,37. Angka IPM itu termasuk tertinggi di Provinsi Jawa Barat. Adapun merujuk data BPS, IPM Kota Solo pada 2021 di angka 82,62 dan pada 2022 mencapai 83,08. Dari sisi ini, IPM Kota Solo unggul atas Depok.

Sementara itu, jika membandingkan upah minimum kota (UMK) 2023, Kota Depok mencapai Rp 4.694.493. Di Kota Solo, UMK 2023 hanya sebesar Rp 2.174.169. Dari jumlah UMK, Depok lebih besar 100 persen dibandingkan Solo.

Sedangkan tingkat kemiskinan di Kota Depok yang berpenduduk sekitar 2,1 juta jiwa pada 2022 hanya 2,53 persen. Pada saat yang sama, dari 522 ribu penduduk Kota Solo, tingkat kemiskinan cukup tinggi di angka 9,4 persen.

Baca: Ada Lebih 100 Relawan Sang Menang Siap Total Dukung Kaesang Pangarep

- Depok sejak 2006 dipimpin dua wali kota asal PKS. Nur Mahmudi Ismail (2006-2016) dan Mohammad Idris (2016-sekarang).

- Solo sejak 2000 dipimpin empat wali kota dari PDIP. Daftarnya adalah Slamet Suryanto (2000-2005), Joko Widodo (2005-2012), Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo (2012-2021), dan Gibran Rakabuming Raka (2021-sekarang).

Sebelumnya, Sekretaris DPC PDIP Kota Depok, Ikravany Hilman mengatakan, partainya masih fokus memikirkan Pileg dan Pilpres 2024, di tengah manuver PSI mendorong Kaesang menjadi wali kota Depok. Namun demikian, ia menegaskan, PDIP tidak menutup kemungkinan untuk mengusung Kaesang pada Pilkada Depok 2023.

"Karena kan instruksi kami jelas, fokus pemenangan Pileg dan Pilpres. Nah, kalau kita kan mau ngusung wali kota paling nggak harus 20 persen dong. Kurang dari 20 persen kursi, koar-koar usung wali kota kan repot," jelas Ikravany kepada Republika.co.id di Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (6/6/2023).

Dia menganggap, DPC PDIP Depok menyambut baik pihak tertentu yang ingin membawa perubahan di Kota Depok, termasuk Kaesang. Dia menekankan, Kota Depok memang perlu perubahan. "Depok kan, dibilang stagnan nggak, tapi juga kita seharusnya bisa lebih maju dari apa yang kita miliki hari ini," kata Ikravany .

Bendahara Umum DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Depok, Ade Supriyatna mengeklaim, Kota Depok kini menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan pada masa awal berdirinya daerah tersebut 23 tahun lalu. Dia pun membantah tudingan kader PSI, relawan, maupun Prof Hamdi Muluk yang menilai Depok tidak berubah sejak dipimpinan kader PKS.

Dia menyebut, sebuah kota harusnya dinilai dari dari sejumlah indikator yang bisa dipertanggungjawabkan. Di antaranya, IPM, pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, hingga gini rasio.

"Kalau melihat komennya, sangat subjektif berdasarkan perasaan dan pendapat pribadi. Jadi saya menilai tidak dalam kapasitas guru besar yang pastinya punya landasan argumen yang objektif dan ilmiah," jelas Ade kepada Republika.co.id, Selasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement