REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Akhir November 2025, Indonesia dilanda bencana alam banjir bandang dan longsor. Kejadian ini menimpa tiga provinsi yang ada di Pulau Sumatra yaitu Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Aceh. Bencana ini menelan banyak korban jiwa, merusak fasilitas umum hingga terputusnya akses transportasi darat.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam pembaruan data di situs resminya melaporkan bahwa jumlah korban meninggal mencapai 990 orang, dengan rincian 407 jiwa di Aceh, 343 di Sumatera Utara, dan 240 di Sumatera Barat. Selain itu, sebanyak 5.400 orang mengalami luka-luka, sementara 220 lainnya masih dinyatakan hilang.
Dalam situasi darurat bencana, respons cepat dan terkoordinasi menjadi kunci penyelamatan nyawa. Pada kasus ini, upaya pengelolaan korban melibatkan berbagai pihak, mulai dari tenaga medis, relawan, pemerintah daerah, hingga institusi kesehatan masyarakat yang berfokus pada pencegahan dampak lanjutan.
Pada Kesempatan ini, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKM UMJ) Gilang Anugerah Munggaran, SKM., M.K.M., akan membahas situasi yang perlu dilakukan dalam prespektif Kesehatan Masyarakat.
Respons Cepat, Tapi Sistem Masih Rentan
Penanganan awal di Aceh dan Sumbar menunjukkan kemajuan signifikan. Mobilisasi tenaga medis, pendirian pos layanan kesehatan, distribusi logistik, hingga aktivasi pusat krisis Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa struktur kesehatan nasional daerah bekerja sebagaimana mestinya.
Namun, besarnya skala bencana membuat sistem kesehatan setempat kewalahan. Banyak fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, hingga klinik terpencil mengalami kerusakan atau terendam. Akses jalan terputus menyebabkan distribusi obat dan mobilisasi tenaga medis terhambat.
“Respons darurat tertangani, namun ketahanan sistem kesehatan publik jangka panjang masih rapuh, terutama ketika bencana besar terjadi di banyak titik secara bersamaan,” ujarnya. Ia menilai bahwa Indonesia berada pada “persimpangan” antara kemampuan merespons cepat dan kebutuhan memperkuat mitigasi jangka panjang.
Aspek Kesehatan yang Paling Krusial
Dalam konteks kesehatan masyarakat, aspek paling krusial pascabencana adalah ketersediaan air bersih, sanitasi, dan kebersihan lingkungan. Pencemaran air, kerusakan sanitasi, serta kondisi pengungsian yang padat meningkatkan risiko penyakit berbasis air dan lingkungan seperti diare, infeksi kulit, ISPA, dan demam.
Selain itu, layanan kesehatan primer menjadi faktor penentu. Banyak korban membutuhkan perawatan luka, penyakit akut, hingga akses obat untuk penyakit kronis. Keberadaan puskesmas keliling, mobile clinic, dan sistem rujukan menjadi sangat penting untuk menjangkau wilayah terdampak yang terisolasi.
Kesehatan mental dan pemulihan psikososial juga menjadi prioritas yang utama. “Trauma, stres akut, dan risiko PTSD sangat tinggi pada penyintas bencana. Intervensi psikososial bukan pelengkap, tapi kebutuhan mendesak,” jelasnya.
Celah yang Mendesak Diperbaiki
Sejumlah kekurangan implementasi harus segera dibenahi, antara lain:
• Akses layanan kesehatan yang terhambat infrastruktur rusak.
• Ketidakterhubungan data pusat-daerah yang menyebabkan duplikasi bantuan.
• Minimnya tenaga kesehatan karena fasilitas rusak dan beban kerja meningkat.
• Belum adanya protokol standar nasional untuk layanan kesehatan mental.
• Kurangnya sanitasi darurat sehingga risiko penyakit berbasis air meningkat.
• Minimnya monitoring epidemiologi real-time.
Peran Perguruan Tinggi dan FKM UMJ
Perguruan tinggi seperti Unand, UNP, PNP, dan kampus lain di Sumatra Barat bergerak cepat melalui relawan, bantuan logistik, layanan medis, hingga pemulihan psikososial. Kementerian Diktisaintek juga menyediakan dukungan bagi sivitas akademika terdampak.
Pada kesempatan ini, Fakultas Kesehatan Masyarakat UMJ turut mengambil peran strategis melalui pembelajaran manajemen bencana, pendampingan teknis bagi puskesmas dan BPBD, riset risiko kesehatan, pengabdian masyarakat berbasis masjid, sekolah Muhammadiyah, dan pesantren, serta kolaborasi dengan MDMC Muhammadiyah.