Senin 08 Dec 2025 16:02 WIB

INDEF Desak Pemerintah Segera Tetapkan Status Bencana Nasional

Skala kerusakan dan korban sudah memenuhi syarat penetapan status bencana nasional.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Sebuah boneka terlihat diantara barang-barang yang hanyut akibat banjir bandang dan tanah longsor di Desa Garoga, Tapanuli Selatan, Sabtu (6/12/2025). Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, menjadi salah satu daerah paling parah terdampak bencana banjir dan longsor yang melanda Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Sebagian besar rumah warga di desa itu luluh lantak dan hanya menyisakan hamparan tanah lumpur setelah diterjang banjir bandang dan longsor.
Foto: Edwin Putranto/Republika
Sebuah boneka terlihat diantara barang-barang yang hanyut akibat banjir bandang dan tanah longsor di Desa Garoga, Tapanuli Selatan, Sabtu (6/12/2025). Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, menjadi salah satu daerah paling parah terdampak bencana banjir dan longsor yang melanda Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Sebagian besar rumah warga di desa itu luluh lantak dan hanya menyisakan hamparan tanah lumpur setelah diterjang banjir bandang dan longsor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta pemerintah segera menetapkan status bencana nasional terhadap musibah yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar). Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menyampaikan status tersebut sudah sangat pantas melihat skala dampak korban jiwa dan kerusakan yang terjadi di tiga provinsi tersebut.

“Kami mendesak pemerintah untuk bisa menyatakan banjir dan tanah longsor yang ada di tiga provinsi di Sumatera ini adalah bencana nasional,” ujar Esther saat diskusi publik bertajuk “Bencana Sumatra Menguji, Ekonomi Perlu Solusi” di Jakarta, Senin (8/12/2025).

Baca Juga

photo
Tumpukan kayu memenuhi Desa Garoga di Tapanuli Selatan, Sabtu (6/12/2025). - (Edwin Putranto/Republika)

Esther menyebut bencana ini bukan semata-mata akibat perubahan iklim, melainkan ulah pembalakan liar yang terlihat dari banyaknya kayu gelondongan. Esther mengatakan jumlah area hutan pun mengalami penurunan secara drastis dari tahun ke tahun.

“Desa-desa yang dekat atau sekitar daerah tambang, sumber mineral, ini punya potensi bencana yang lebih besar,” ucap Esther.

Esther meminta pemerintah tidak sekadar menghitung kerugian berdasarkan kerusakan infrastruktur, melainkan juga mempertimbangkan kebutuhan selama masa pemulihan. Karena itu, Esther menilai pemerintah seharusnya mengalokasikan dana untuk perbaikan infrastruktur, program adaptasi dan penanaman kembali, serta dana untuk pemulihan.

“Jadi ketika sudah ada bencana maka pemulihan itu harus dilakukan secepat mungkin. Karena masyarakat pasti butuh bantuan,” lanjut Esther.

Esther mengingatkan rangkaian banjir, longsor, dan cuaca ekstrem yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 menunjukkan ketahanan sosial dan ekonomi Indonesia masih berada di bawah tekanan serius. Di tengah tantangan ini, lanjut Esther, pemulihan cepat terhadap jaringan logistik, pangan, dan energi menjadi faktor penentu percepatan pemulihan.

“Namun, berbagai persoalan tata kelola, mulai dari koordinasi pusat dan daerah hingga efektivitas penyaluran bantuan, menunjukkan perlunya pendekatan pemulihan yang lebih terintegrasi dan adaptif agar penanganan bencana dan rehabilitasi di wilayah terdampak dapat berlangsung lebih cepat dan merata,” kata Esther.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement