REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana redenominasi rupiah kembali mencuri perhatian publik. Pemerintah tampak semakin serius menyiapkan langkah besar ini, terlebih setelah Kementerian Keuangan memasukkan redenominasi ke dalam Rencana Strategis (Renstra) 2025–2029.
Rencana tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7 Tahun 2025, yang disahkan pada 10 Oktober 2025 dan mulai berlaku sejak diundangkan.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Keuangan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Jakarta (FEB UMJ), Prof Dr Andry Priharta, SE, MM memberikan pandangannya mengenai tujuan, kesiapan, hingga tantangan implementasi kebijakan ini di Indonesia.
Penyederhanaan Nominal, Bukan Pengurangan Nilai Uang
Redenominasi adalah penyederhanaan nominal mata uang dengan menghilangkan beberapa angka nol dari uang tersebut, tanpa mengubah daya belinya. Tujuannya agar transaksi menjadi lebih mudah dan efisien, termasuk dalam pencatatan akuntansi serta mengurangi potensi kesalahan input angka.
“Misalnya nominal Rp 1.000 disederhanakan menjadi Rp 1. Ketika sebelumnya Rp 1.000 bisa untuk membeli sepotong roti, dengan nominal Rp 1 tetap memiliki nilai yang sama untuk membeli sepotong roti,” ujarnya dalam keterangan Jumat (14/11/2025).
Andry yang juga merupakan Dewan Pengawas Aliansi Fakultas Ekonomi Bisnis Swasta Indoensia (AFEBSI) Jakarta, menjelaskan salah satu manfaat psikologis dari redenominasi adalah meningkatkan citra dan kredibilitas rupiah di mata global.
Nilai mata uang yang terlalu besar sering kali terlihat “tidak sebanding” jika dibandingkan negara lain. Dengan menyederhanakan nominal, ia menilai rupiah akan menjadi lebih terjaga dan sejajar dengan negara lain.
Dampak Redenominasi Rupiah
Redenominasi diperkirakan akan menimbulkan dampak berbeda dalam jangka pendek dan panjang. Pada tahap awal, masyarakat kemungkinan akan mengalami kebingungan terkait perubahan nominal uang.
Perubahan dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, misalnya, memerlukan penyesuaian mental dan kebiasaan baru dalam bertransaksi sehari-hari. Meski nilainya sama, persepsi masyarakat terhadap uang dapat berubah sementara waktu.
Selain itu, sistem keuangan dan teknologi pencatatan juga harus disesuaikan. Bank, perbankan digital, dan lembaga keuangan lain perlu memperbarui perangkat lunak, prosedur akuntansi, dan sistem transaksi agar sesuai dengan nominal baru.
Hal ini menimbulkan biaya tambahan dan memerlukan koordinasi yang matang antarlembaga.
“Secara teoritis redenominasi tidak memengaruhi inflasi secara langsung atau mengubah daya beli masyarakat. Namun, dapat saja terjadi, misalnya harga yang sebelumnya Rp 8.500, dengan redenominasi seharusnya menjadi Rp 8,5 kemudian dibulatkan menjadi Rp 9. Untuk mengatasi hal ini, perlu dibuat aturan pembulatan harga, sosialisasi yang jelas, dan pengawasan harga,” ujarnya.
Kesiapan Ekonomi dan Tantangan Implementasi
Meski wacana ini dianggap penting, kesiapan Indonesia dalam menghadapi redenominasi tidak hanya soal angka makro ekonomi. Andry menilai, dari sisi ekonomi nasional, Indonesia sudah berada di jalur yang tepat.
Inflasi relatif terkendali, dan stabilitas makro terjaga. Kondisi ini memberikan dasar yang cukup untuk memulai persiapan implementasi redenominasi, meski langkah itu tetap memerlukan perencanaan matang.
Adapun salah satu faktor yang tak kalah penting menurut Andry adalah dukungan dan kepercayaan publik. Redenominasi memang hanya menyederhanakan nominal uang, bukan mengurangi nilai (sanering), tetapi masyarakat perlu diyakinkan agar tidak salah paham, mengalami kekhawatiran, dan kepanikan.
Sosialisasi yang efektif menjadi kunci agar masyarakat memahami bahwa daya beli mereka tetap aman.
“Koordinasi antarlembaga menjadi tantangan besar lainnya. Redenominasi melibatkan banyak pihak, mulai dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, perbankan, hingga pemerintah pusat dan daerah. Setiap lembaga perlu menyesuaikan sistem, prosedur, dan teknologi agar transisi nominal berjalan lancar, ” tambahnya.
Ia juga menjelaskan, ketika regulasi dan kelembagaan mendukung, kondisi makro stabil, sistem keuangan siap, mendapat dukungan dari masyarakat, dan situasi politik yang kondusif, redenominasi dapat berhasil dilakukan.“Jadi kapan waktu yang tepat? Ketika semua kondisi tersebut dapat terpenuhi dengan baik,” tutupnya.