Saat suhu terus naik dan perubahan cuaca makin tak menentu, sebagian besar anak muda Indonesia mengaku mengalami rasa cemas menghadapi krisis iklim. Survei Karbon Hero menunjukkan hampir sembilan dari sepuluh anak muda Indonesia atau 89%-nya merasa takut dan tidak berdaya terhadap masa depan bumi.
Fenomena ini dikenal sebagai eco-anxiety, bentuk kecemasan yang muncul saat seseorang menyadari ancaman krisis iklim, tapi merasa sulit untuk berbuat banyak. UNICEF menyebutnya sebagai reaksi wajar terhadap ancaman lingkungan yang nyata.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Bagi sebagian anak muda, kecemasan itu datang pelan-pelan, yakni dari berita yang melintas di linimasa, dari suhu yang makin panas, atau dari masalah banjir yang tidak kunjung surut. Buat yang lain, perasaan itu muncul sebagai kelelahan mental, rasa bersalah, dan pertanyaan tanpa jawaban. Jadi, apa yang bisa aku lakukan?
Narasi iklim bebani anak muda, tapi butuh rasa peduli
Buat Syifa Lutfiana, yang baru saja menyelesaikan jenjang kuliah, berita tentang perubahan iklim bukan sekadar wacana di layar ponsel, melainkan sumber rasa cemas yang nyata. Dia mengaku sering kewalahan menghadapi informasi semacam itu. “Kadang aku mau ikut aksi atau donasi, tapi bingung harus mulai dari mana. Akhirnya aku cuma scroll berita dan merasa capek sendiri,” ujarnya.
Sedangkan bagi Liani, kecemasan itu makin nyata terasa. Liani yang tinggal di daerah rawan banjir, sering kali perlu menarik napas panjang setiap kali hujan deras turun tanpa henti. Menyadari bahwa dia adalah salah satu yang langsung terkena dampak perubahan iklim, membuatnya terkadang memilih untuk mengambil jeda dari paparan media sosial.
"Karena merasakan langsung, sih. Setiap hujan lebat yang enggak berhenti, rumahku langganan banjir, lalu sekarang intensitasnya makin sering. Jadi setiap baca berita perubahan iklim, jadi mikir, masa akan selamanya gini terus?" ujarnya.
Sementara itu anak muda lainnya, seperti Khusnul Purwanti, merasakan dilema yang sedikit berbeda, tapi masih berkaitan. Dia merasa cemas dan lelah, tetapi sadar bahwa anak muda tidak boleh berhenti peduli.
"Aku takut dan merasa bersalah karena belum cukup berkontribusi. Kadang aku sengaja pause biar enggak overthinking, tapi sadar juga kalau enggak boleh jadi apatis. Karena kalau bukan kita, siapa lagi?” katanya.
Gabungan rasa takut, lelah, dan bersalah yang dirasakan Syifa, Liani, dan Khusnul mencerminkan kompleksitas eco-anxiety di kalangan Gen Z, yakni antara kepedulian yang besar dan tekanan mental yang kerap menyertainya.
Cara mengurai dampak psikologis di balik eco-anxiety
Perasaan cemas dan kelelahan akibat paparan berita iklim sejatinya memiliki dasar psikologis yang kuat. Kepada DW, psikolog klinis Maria Hanafie menjelaskan bahwa eco-anxiety muncul ketika individu menyadari ancaman lingkungan yang nyata, tetapi merasa kemampuan mereka untuk menanggapinya terbatas.
"Anak muda kerap mengalami konflik antara keinginan untuk peduli dan keterbatasan tindakan yang bisa mereka lakukan. Hal ini bisa memunculkan kelelahan emosional, rasa bersalah, hingga menghindari berita iklim demi menjaga kesehatan mental,” ujarnya.
Maria menekankan bahwa strategi coping yang berfokus pada makna, dapat membantu remaja dan dewasa muda menghadapi kecemasan iklim.
"Tidak ada salahnya untuk sejenak rehat, atau berbagi perasaan cemas yang dirasakan pada teman, agar tidak merasa sendiri," jelasnya, sambil menambahkan bahwa ikut serta dalam aksi lingkungan bisa jadi langkah lanjutan yang diambil.
"Melakukan kegiatan lingkungan di komunitas atau proyek kecil yang berdampak bisa meminimalisir rasa tidak berdaya dan menjaga kesejahteraan mental," ujarnya.
Studi Universitas Indonesia menunjukkan eco-anxiety lebih sering dialami oleh remaja perempuan, pelajar, dan mereka yang tinggal di kota, menandakan tekanan psikologis yang lebih besar pada kelompok ini. Studi lain dari Monash Lens juga menyoroti kurangnya kesadaran tentang dampak gelombang panas terhadap kesehatan mental, yang menambah tekanan psikologis pada generasi muda di Asia Tenggara.
Kampanye yang menyembuhkan, bukan menakut-nakuti
Menanggapi gelombang eco-anxiety yang melanda anak muda, banyak organisasi lingkungan kini mencoba mencari cara agar kepedulian terhadap bumi tidak menjadi beban mental, seperti yang disampaikan Afif Saputra, Campaign Manager Greenpeace Indonesia. Sebagai orang yang bekerja di organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu lingkungan, Afif berusaha mengedepankan narasi dalam konten-konten Greenpeace tetap ramah mental bagi generasi muda, dengan tujuan mendorong keterlibatan aktif tanpa menimbulkan beban emosional berlebih.
Salah satu strategi yang ditempuh adalah kampanye kolaboratif lintas platform, bekerja sama dengan figur publik seperti seniman, konten kreator, dan musisi yang dekat dengan audiens muda. Menurut Afif, kolaborasi semacam ini memungkinkan pesan lingkungan tersebar lebih luas, sekaligus menunjukkan bahwa kepedulian terhadap bumi bisa diwujudkan melalui cara yang kreatif dan menyenangkan. Ia menambahkan bahwa anak muda cenderung merespons kampanye yang mengajak keterlibatan, dibandingkan yang menekankan rasa bersalah atau tekanan, "pendekatan yang membuat mereka merasa bisa berkontribusi, sekecil apa pun, jauh lebih efektif dibandingkan menakut-nakuti.”
Afif juga menekankan bahwa eco-anxiety bukan hal yang harus ditakuti. Bahkan, beberapa aktivis Greenpeace sendiri mengalaminya. "It's okay to be anxious karena di Greenpeace pun, jujur ya, kami juga sering mengalami eco-anxiety. Bayangin, tiap hari melihat berita buruk,” ujarnya. "Rasa cemas itu wajar, tapi yang penting adalah bagaimana energi itu disalurkan, misalnya dengan curhat kemudian jadi diskusi, kemudian jadi bibit aksi yang positif.” Dengan pendekatan ini, Afif meyakini generasi muda tetap bisa terlibat secara konstruktif, menjaga kesehatan mental, dan melihat bahwa setiap kontribusi, sekecil apa pun, memiliki arti.
Mengubah kecemasan jadi harapan
Bagi banyak anak muda, eco-anxiety bukan sekadar rasa takut akan krisis iklim, tapi pengalaman nyata yang memengaruhi keseharian mereka. Syifa misalnya, kadang perlu menjauh dari berita agar pikirannya tidak terbebani, sementara Khusnul menyalurkan kekhawatirannya dengan mencari informasi dan berdiskusi tentang aksi kecil yang bisa dilakukan.
Menurut psikolog klinis Maria Hanafie, "Eco-anxiety bisa menjadi sinyal penting bagi anak muda untuk bertindak, asalkan mereka diberi ruang untuk memprosesnya secara sehat.” Dengan dukungan yang tepat, pengalaman emosional ini tidak hanya bisa dikelola, tapi juga menjadi dorongan untuk berkontribusi secara nyata terhadap lingkungan.
Editor: Prihardani Purba dan Prita Kusumaputri