Di lapak ikan di Desa Aspra, dekat ibu kota Sisilia, Palermo, hasil tangkapan ikan dipenuhi alga hijau. Namun, alga asal Asia bernama Rugulopteryx okamurae ini bukan hanya menjadi hidangan pendamping, melainkan musuh utama nelayan lokal. Selama dua tahun terakhir, mereka menghabiskan waktu berhari-hari untuk membersihkan jaring dari alga ini, yang berdampak pada berkurangnya pendapatan.
Masalah ini juga dialami nelayan di perairan Spanyol. “Alga ini sudah ada di sini selama 10 tahun,” kata Gregorio Linde, kapten kapal nelayan kecil di Tarifa, Selat Gibraltar. "Dasar lautnya penuh alga dan jaring kami tidak menangkap apa-apa."
Keluarganya telah menggantungkan hidup dari laut selama beberapa generasi, tapi kini ia lebih sering mengangkut alga hanya untuk dibuang kembali. Ia bukan satu-satunya, kerugian nelayan kecil di Spanyol akibat alga ini mencapai lebih dari €3 juta (sekitar Rp52,5 miliar) per tahun.
Masalah ini juga merugikan sektor pariwisata pesisir di negara seperti Spanyol dan Italia. Wisatawan enggan menikmati pantai yang dulunya berpasir putih karena kini dipenuhi alga berbau busuk. Meski alga terus diangkut ke tempat pembuangan, pasang surut air laut kembali membawanya ke pantai.
Kerusakan terbesar terjadi di bawah permukaan laut. Alga ini menutupi padang lamun yang penting, merusak populasi bulu babi, dan mengambil alih tempat berlindung ikan.
"Dampak sosial ekonomi bisa diatasi dengan uang, tapi kerusakan ekologis ini tidak bisa diganti," kata Maria Altamirano, peneliti Universitas Malaga yang pertama kali mengidentifikasi alga tersebut di Spanyol. "Invasi ini seperti kebakaran hutan di taman nasional, semuanya jadi musnah, hanya satu spesies yang tersisa," tambahnya.
Pesisir Mediterania jadi titik invasi alga
Meski hanya mencakup kurang dari 1% luas lautan dunia, Laut Mediterania menjadi jalur hampir seperempat lalu lintas maritim global. Menurut Badan Lingkungan Eropa, hal ini menyebabkan masuknya setengah dari semua spesies asing ke laut sejak 1970.
Lebih dari separuh spesies asing di perairan Eropa hidup di laut semi-tertutup ini. Luca Castriota, pakar dari Institut Nasional Perlindungan dan Penelitian Lingkungan Palermo, menyebut satu dari 10 spesies tersebut menjadi invasif, menggusur spesies asli dan mengubah ekosistem.
Salah satu yang paling berbahaya adalah Rugulopteryx okamurae, alga asal Pasifik yang hidup dalam keseimbangan dengan ekosistem di Jepang, Cina, Taiwan, Korea, dan Filipina. Jenis ini pertama kali diidentifikasi sebagai spesies invasif pada 2015 di Ceuta, wilayah Spanyol di Pesisir Afrika Utara, dekat Selat Gibraltar.
Didorong oleh penangkapan ikan berlebihan dan polusi yang melemahkan ekosistem, serta pemanasan air laut dan ketiadaan predator alami, alga ini berkembang secara agresif dan terus meluas. Sejak pertama kali muncul, alga Rugulopteryx okamurae telah menyebar ke berbagai wilayah di Mediterania dan mencapai kepulauan Atlantik seperti Kepulauan Canary, Azores, dan Madeira. Pada tahun 2022, alga ini menjadi spesies asing pertama yang masuk dalam daftar spesies yang mengkhawatirkan di Uni Eropa.
Penyeimbang kapal, pengacau laut
Para ilmuwan meyakini alga ini masuk ke Mediterania melalui air balas kapal kargo dari Asia ke Eropa. Sebelum berlayar, kapal mengisi tangki internal dengan air untuk menyeimbangkan muatan. Air ini kemudian dibuang di pelabuhan tujuan, bersama spora, larva, atau telur yang tersembunyi.
"Saat ini dunia saling terhubung. Kami membeli produk dari Cina, misalnya, yang kemudian didistribusikan ke seluruh dunia. Namun, selain barang yang kami inginkan, kami juga tanpa sadar memindahkan spesies dari satu tempat ke tempat lain," kata Maria Garcia dari Dewan Riset Nasional Spanyol (Spanish National Research Council/CSIC). Ia telah memantau spesies invasif di perairan pesisir Mediterania selama 30 tahun dan menyatakan bahwa perdagangan global telah "mengubah total" fauna dan flora laut di kawasan tersebut.
Pada tahun 2004, Organisasi Maritim Internasional (IMO) mengadopsi sebuah konvensi yang mewajibkan kapal untuk mengolah air balas, meskipun aturan tersebut baru mulai berlaku pada tahun 2017. Sejak September 2024, kapal dari negara penandatangan atau yang membuang air balas di pelabuhan negara tersebut harus memasang sistem pengolahan di kapal agar hanya partikel sangat kecil (10 mikron) yang bisa dibuang.
Para ahli menyebut kebijakan ini sebagai langkah maju, tapi penerapannya masih lemah. "Upaya telah dilakukan selama bertahun-tahun, tetapi kepatuhan sulit dicapai karena tingginya biaya. Sering kali, hal ini bergantung pada niat baik pemilik dan awak kapal," kata Maria Garcia dari Dewan Riset Nasional Spanyol (CSIC).
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Pemeriksaan jarang menjadi prioritas dibanding keselamatan kapal. Di Spanyol, otoritas kekurangan dana. Sementara Italia belum meratifikasi konvensi IMO sehingga kapal asing masih bisa secara legal membuang air balas yang belum diolah di pelabuhan negara itu
"Kami tidak bisa langsung mengintervensi pihak swasta karena hal itu akan bertentangan dengan aktivitas ekonomi," kata Luca Castriota. "Hingga konvensi IMO diratifikasi, tangan kita masih terikat."
Inisiatif warga selamatkan Laut Mediterania
Setelah suatu spesies berhasil dikendalikan, memperlambat penyebarannya menjadi langkah penting berikutnya. "Kami tahu bahwa alga ini dapat berkembang di wilayah yang jauh lebih luas dari area yang saat ini ditempatinya. Kami harus mencegah penyebarannya ke sana," kata Maria Altamirano.
Pengawasan air balas yang lebih ketat dan kerja sama dengan nelayan serta pemilik kapal rekreasi sangat penting karena jaring dan lambung kapal sering menjadi media penyebaran alga. Partisipasi masyarakat juga berperan krusial dalam pengendalian penyebaran.
Platform ilmu pengetahuan warga menjadi wadah yang pertama kali mendeteksi keberadaan alga Asia di wilayah Murcia, Spanyol tenggara. Tim Maria Garcia bekerja sama dengan lebih dari 5.000 sukarelawan di wilayah Catalonia utara yang juga terdampak. Para relawan mengunggah foto spesies yang diduga invasif ke platform Observadores del Mar. "Kami para ilmuwan bekerja di laboratorium, tetapi ada wilayah laut yang sangat luas yang tidak dapat kami jangkau," kata Garcia.
Namun, mencegah invasi di masa depan membutuhkan lebih dari sekadar pelayaran pagi dan eksperimen laboratorium. Kata Altamirano, diperlukan koordinasi internasional, dialog antara ilmuwan, pembuat kebijakan, serta sektor-sektor terdampak, hingga partisipasi aktif dari warga negara.
"Rugulopteryx okamurae hanyalah salah satu dari banyak spesies invasif," tambahnya. "Kami perlu memastikan sistem berjalan lancar untuk spesies invasif berikutnya yang pasti akan datang."
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Levie Wardana dan Muhammad Hanafi
Editor: Hani Anggraini