REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di markas besar militer Israel yang futuristik, layar-layar raksasa memancarkan cahaya biru, menampilkan aliran data real-time tentang setiap jengkal Gaza.
Inilah jantung dari mesin perang berbasis kecerdasan buatan (AI) Israel, sebuah sistem yang digadang-gadang sebagai yang paling canggih di dunia. AI ini bukan sekadar komputer, tapi sebuah "otak" kolektif yang mengintegrasikan data dari satelit, drone mata- elang, sensor darat, dan intelijen sinyal.
Setiap pixel dalam gambar satelit dianalisis oleh algoritma pembelajaran-mendalam (deep learning) untuk mendeteksi anomali. Apakah ada pola baru di atap sebuah bangunan? Apakah ada jejak panas yang mencurigakan di bawah tanah?
Apakah sekelompok orang bergerak dengan cara yang mengindikasikan aktivitas militer? AI bekerja tanpa lelah memproses informasi yang mustahil diolah oleh pikiran manusia dalam waktu singkat.
Hingga memprediksi
Kecanggihannya bahkan merambah ke ranah prediktif. Sistem AI ini mampu memodelkan perilaku Hamas, mempelajari pola pergerakan mereka, dan bahkan mencoba memprediksi di mana serangan berikutnya akan dilancarkan.
Target-target potensial muncul di layar dengan tingkat probabilitas yang dihitung hingga desimal, memungkinkan serangan pencegahan yang dianggap tepat sasaran.
Kekuatan utamanya terletak pada efisiensi dan kecepatannya. Dalam hitungan detik, AI dapat menganalisis ribuan jam rekaman drone, mengidentifikasi "wajah" atau profil target tinggi, dan menyarankan koordinat serangan.
Cara kuno melawan teknologi canggih
Perang ini, dalam narasi Israel, adalah perang data. Kemenangan akan diraih oleh pihak dengan algoritma terkuat dan prosesor tercepat.