REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menegaskan bahwa tarif MRT dan LRT tidak akan mengalami kenaikan meskipun ada wacana efisiensi subsidi transportasi umum. Keputusan ini diambil di tengah pemangkasan dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah.
Menurut Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, kajian terhadap 'willingness to pay' dan 'ability to pay' menunjukkan tarif saat ini masih sesuai. "Saya pastikan tarif MRT dan LRT tidak naik," ujarnya dalam acara Media Fellowship Program MRT Jakarta 2025 di Jakarta, Kamis.
Syafrin menjelaskan, tarif keekonomian MRT sebenarnya mencapai Rp13 ribu, tetapi tarif yang dikenakan hanya Rp7.000, sehingga subsidi rata-rata per pelanggan pada 2024 sekitar Rp6.000. Angka ini masih sesuai dengan skema subsidi transportasi yang dirancang.
Perbandingan dengan Tarif Transjakarta
Berbeda dengan MRT dan LRT, tarif Transjakarta yang ditetapkan pada 2005 sebesar Rp3.500 perlu penyesuaian. Selama dua dekade, upah minimum provinsi (UMP) meningkat enam kali lipat, sedangkan inflasi kumulatif mencapai 186,7 persen. "Cost recovery Transjakarta turun dari 34 persen pada 2015 menjadi 14 persen saat ini," tambah Syafrin.
Direktur Utama PT MRT Jakarta, Tuhiyat, menambahkan bahwa untuk rute seperti Bundaran HI—Lebak Bulus, tarif keekonomian adalah Rp32.000, sementara penumpang hanya membayar Rp14.000. Selisih Rp18.000 ditanggung pemerintah melalui skema public service obligation (PSO).
Untuk menjaga keberlanjutan operasional, MRT Jakarta mengembangkan pendapatan dari non-farebox seperti naming rights, penyewaan ruang ritel, dan aktivitas digital.
Langkah Efisiensi Anggaran
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyatakan bahwa skema subsidi transportasi akan dikaji ulang sebagai bagian dari efisiensi anggaran, meski hal ini tidak berarti tarif transportasi umum akan langsung naik. Menurutnya, subsidi transportasi di Jakarta mencapai Rp15.000 per orang dan perlu ditinjau agar sejalan dengan kondisi fiskal tanpa mengorbankan aksesibilitas layanan publik.
Pemangkasan dana transfer ke daerah, termasuk dana bagi hasil (DBH), menyebabkan proyeksi APBD DKI Jakarta 2025 turun dari Rp95,35 triliun menjadi Rp79,03 triliun.
Konten ini diolah dengan bantuan AI.