REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menyebut 'tiga tidak boleh' di Sekolah Rakyat. Semuanya wajib dihindari agar kultur belajar di Sekolah Rakyat saling mendukung dan berjalan dengan baik.
Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf menegaskan praktik perundungan atau bullying tidak boleh terjadi di lingkungan Sekolah Rakyat SD, SMP hingga SMA sederajat karena termasuk dalam tiga dosa besar pendidikan yang harus dihindari.
“Pertama, tidak boleh ada perundungan dari siapapun kepada siapapun. Kedua, tidak boleh ada kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Ketiga, tidak boleh ada intoleransi. Kalau ada tanda-tanda, segera laporkan dan tindaklanjuti, jangan dianggap enteng,” kata Mensos Saifullah Yusuf dalam arahannya kepada tenaga kependidikan Sekolah Rakyat secara hybrid dari Kantor Kemensos, Jakarta, Selasa.
Perundungan
Perundungan, atau bullying, adalah perilaku menindas yang dilakukan secara sengaja oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti, mempermalukan, atau mengintimidasi korban. Perilaku ini bersifat terus-menerus dan dapat terjadi dalam bentuk fisik, verbal, sosial, atau siber (dunia maya), serta menimbulkan rasa tidak nyaman, sakit hati, dan tertekan pada korban.
Data mengenai kasus bullying di Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan, khususnya di lingkungan pendidikan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat lonjakan kasus kekerasan di sekolah hingga 573 kasus pada 2024, meningkat lebih dari 100% dibanding tahun sebelumnya. Meskipun demikian, data yang lebih spesifik mengenai kasus bullying saja, bukan kekerasan secara umum, dan jumlah korban bullying secara rinci belum tersedia secara lengkap dan terpusat untuk tahun 2024 di tingkat nasional, seperti yang dilaporkan KPAI atau Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Kekerasan fisik dan seksual
Kekerasan seksual yang ada di lembaga pendidikan dapat dikategorikan sebagai extra familial abuseyang mana pelaku berasal bukan dari anggota keluarga korban, melainkan dari pihak luar namun memiliki keterikatan yang sama-sama berada di lingkungan lembaga pendidikan.
Bentuknya berupa: penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban. perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja. penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban.