REPUBLIKA.CO.ID, Lima jurnalis Palestina syahid dalam serangan ganda Israel di rumah sakit Nasser di Gaza selatan pada hari Senin. Masing-masing punya kisah yang mencerminkan keteguhan dan kebaikan warga Gaza bahkan di tengah genosida oleh Israel.
Pada Senin (25/8/2025), tank Israel menembak dengan meriam lantai empat Kompleks Medis Nasser di Khan Younis, di selatan Gaza. Tembakan pertama itu langsung menewaskan jurnalis Reuters Hussam al-Masri yang sedang menjalankan laporan langsung.
Kemudian, setelah jurnalis dan petugas penyelamat berlari ke lokasi kejadian untuk membantu rekan-rekan mereka, bom kedua menghantam tempat yang sama 15 menit kemudian. Jumlah syuhada bertambah, total lima jurnalis syahid dalam serangan keji tersebut.
Kelima jurnalis bergabung dengan lebih dari 247 rekan mereka yang berasal dari Palestina yang terbunuh di Gaza selama 22 bulan terakhir, menurut statistik PBB. Ini adalah konflik paling mematikan bagi jurnalis yang pernah tercatat, dan jumlah korban jiwa jurnalis lebih banyak dibandingkan jumlah korban jiwa pada kedua perang dunia, perang Vietnam, perang Yugoslavia, dan perang AS di Afghanistan.
Masing-masing jurnalis bukan sekadar angka-angka. Berikut kisah mereka yang syahid di RS Nasser awal pekan ini.
Hussam al-Masri yang Menolak Dewasa
Hussam al-Masri (48 tahun), adalah seorang jurnalis foto di Palestine TV dan juga bekerja sebagai kontraktor untuk kantor berita Reuters. Hussam mengoperasikan saluran video langsung untuk Reuters dari Rumah Sakit Nasser, yang menurut kantor berita tersebut “tiba-tiba ditutup pada saat serangan awal [Israel] terjadi”.

Al-Masri memulai karirnya di usia muda, membantu ibunya, seorang jurnalis, menyiapkan kamera. “Dia memegang kamera pertamanya pada tahun 1993 dan sejak tahun itu hingga sekarang, hampir 32 tahun, tidak pernah ada hari tanpa kamera di sisinya,” kata Ezz al-Din al-Masri, ibu Hussam.
Ia dikenal karena keberaniannya di lapangan dan komitmennya terhadap cerita. Ibunya menceritakan bagaimana dia menjadi jurnalis terakhir yang berahan di rumah sakit Nasser selama invasi pertama Israel terhadap Khan Younis di Gaza selatan.
"Yang mengejutkan saya, dia menelepon saya, mengatakan dia masih melakukan siaran dari dalam rumah sakit ketika tentara mengepung mereka. Saya bertengkar dengannya, menuntut dia segera pergi," kata Ezz al-Din dilansir the Guardian.
"Hussam, meskipun usianya hampir 49 tahun, selalu membawa semangat seorang anak kecil dan hati yang polos dan lembut. Saya tidak pernah merasa bahwa dia bisa tumbuh dewasa atau menjadi tua. Saya selalu memperlakukannya sebagai anak kecil saya yang nakal," kata Ezz al-Din. “Tetapi sekarang, setelah kematiannya, saya terkejut dengan kenyataan bahwa dia telah menua tanpa saya sadari.”
Dedikasi Hussam terhadap pekerjaannya tak goyah bahkan ketika ia memikul beban pribadi. Menulis di Instagram setelah Hussam terbunuh, jurnalis Amr Tabash mengenang bahwa beberapa hari sebelumnya, Hussam bertanya kepadanya dengan suara patah-patah: "Bisakah Anda membantu saya mengevakuasi istri saya? Penyakitnya menggerogoti dirinya, dan saya tidak tahan lagi melihatnya menderita."
Amr menggambarkan Hussam sebagai orang yang tak kenal lelah dalam membantu orang lain dan mengatakan dia termasuk orang terakhir yang meninggalkan Rumah Sakit Nasser selama pengepungan Israel pada bulan Desember. Amr meminta agar masyarakat membantu istri Hussam yang kini sudah tidak sanggup lagi.
“Hussam telah tiada, dan istrinya tetap bertahan, berjuang melawan kanker sendirian, menanggung rasa sakit yang berlipat ganda setelah kehilangan pasangan dan dukungannya,” tulis Amr. “Demi Hussam, demi misi yang dijalaninya, dan demi anak-anaknya, jangan biarkan istrinya menghadapi kematian dalam diam.”