
Oleh : Dr Suharsiwi, M.Pd, Peneliti dan Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Di sebuah sekolah dasar di pinggiran kota, seorang anak dengan hambatan bicara duduk di barisan paling belakang. Ia hadir setiap hari, tetapi sering kali hanya menjadi penonton.
Guru yang mengajar tidak tahu cara menyesuaikan metode pembelajaran agar anak itu bisa ikut berpartisipasi. Teman-teman sekelasnya pun kadang bingung, kadang menjauhi. Inilah wajah nyata pendidikan inklusif di Indonesia: ada regulasi, ada jargon, tetapi implementasi belum utuh.
Antara Regulasi dan Realitas
Indonesia bukan tanpa komitmen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjamin hak pendidikan setara bagi semua anak. Pemerintah juga mendorong sekolah reguler menerima siswa berkebutuhan khusus.
Namun, di lapangan, jalan menuju pendidikan inklusif masih terjal. Guru sering kali belum mendapat pelatihan memadai. Banyak sekolah masih menempatkan anak berkebutuhan khusus dalam kelas reguler tanpa adaptasi kurikulum atau dukungan pendamping.
Orang tua siswa reguler ada yang khawatir anaknya “terhambat” jika belajar bersama siswa berkebutuhan khusus. Sementara itu, fasilitas belajar adaptif hanya tersedia di segelintir sekolah. Stigma, keterbatasan sumber daya, dan kebijakan yang belum konsisten membuat pendidikan inklusif di Indonesia masih jauh dari cita-cita education for all.
Belajar dari Portugal
Portugal bisa menjadi contoh menarik. Negara ini menerapkan pendidikan inklusif sebagai kebijakan nasional yang terintegrasi. Guru reguler mendapat dukungan guru pendamping khusus (GPK) yang ditempatkan resmi oleh pemerintah. Kurikulum dirancang fleksibel dengan prinsip universal design for learning (UDL), sehingga kebutuhan anak-anak dengan beragam latar belakang bisa diakomodasi sejak awal.
Lebih dari itu, pemerintah Portugal memberikan dukungan finansial yang cukup kepada sekolah. Anggaran untuk pendidikan inklusif tidak dianggap “tambahan”, tetapi bagian dari layanan pendidikan dasar. Hasilnya, lebih banyak anak berkebutuhan khusus bisa bersekolah bersama teman sebayanya dengan dukungan memadai.
Cermin dari Mozambik
Sebaliknya, Mozambik menghadapi tantangan yang mirip Indonesia. Keterbatasan anggaran, kurangnya tenaga terlatih, serta sarana prasarana yang minim membuat implementasi inklusif belum berjalan mulus. Namun, ada hal menarik: komunitas lokal berperan besar.
Di beberapa wilayah, sekolah bermitra dengan organisasi masyarakat untuk memberi dukungan belajar bagi anak berkebutuhan khusus. Praktik berbasis komunitas ini menunjukkan bahwa inklusivitas tidak selalu bergantung pada sumber daya besar, tetapi bisa tumbuh dari solidaritas sosial. Indonesia bisa belajar dari Mozambik untuk lebih melibatkan keluarga, kader lokal, dan komunitas sekolah dalam mendukung inklusi.